17 - Rembulan mengulur lelap,

1.7K 227 71
                                    

Jakarta, 1987

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jakarta, 1987

Tadi, sepulang kuliah, Dhanti menunggu Lukas di rumah sakit tempatnya praktek. Pasien satu-satunya Lukas adalah balita ompong yang digandeng ibu-ibu bersanggul setinggi tugu Metropole. Lama sekali mereka di dalam. Dhanti sempat mengira mereka bertiga terkena serangan jantung lalu mati di dalam, atau berteleportasi ke dunia lain, atau berbagai kemungkinan tolol lainnya. Nyatanya, ibu-ibu muda—yang sialnya berparas cantik—itu berbincang akrab dengan Lukas

Rasa-rasanya, saat masuk ke poli, bocah itu masih balita. Keluar poli, bocah itu sudah lulus sarjana.

Saking lamanya.

Lukas bilang, ibu-ibu itu adalah temannya semasa sekolah dulu, jadi terjadilah reuni kecil-kecilan di dalam poli. Sepuluh menit sudah Dhanti mencoba mengidentifikasi perasaan tidak nyaman yang berkecamuk dalam diri. Entah ini marah, kesal, cemburu, atau iri dengki. Atau ini hanya efek amukan hormon yang berantakan. Buntut ketidaknyamanan dari menstruasi hari pertama. Dhanti terakhir menstruasi sekitar tiga bulan yang lalu—jangan tanya kenapa, pokoknya, sejak masuk kedokteran, stress tidak manusiawi membuat pabrik sel telur dalam rahim Dhanti jadi malas berproduksi.

Jadi, mungkin, ini hanya perkara level serotonin yang terjun bebas ke dasar jurang. Suasana hati gadis itu jadi terombang-ambing tidak jelas. Namun, mood jelek yang tidak diundang ini datang membawa pasukan. Selain kram di area kuadran bawah perut Dhanti, rasa lemah pada sendi-sendi, kantuk berat menggelayuti, juga pemikiran intrusif dilengkapi skenario fiktif yang menyakitkan hati.

"Cari makan, yuk," ajak Lukas sambil tersenyum.

Dih, kenapa jadi senyum-senyum, dia? Lagi senang, kah? Dhanti mendelik tajam. Over analisis arti senyum Lukas, sekalipun pria itu tersenyum setiap saat.

"Mau makan apa, Tuan Putri?" tanya Lukas, sambil mengatur suhu AC.

Cowok kalau mendadak baik, biasanya habis berbuat kesalahan, nih. Habis ngapain, ya, Lukas lama-lama di dalam poli tadi? Yakin, cuma ngobrol biasa?

"Kok diam saja?"

Dhanti sudah diam sekitar tujuh belas menit dan empat puluh detik, KENAPA Lukas baru sadar sekarang? Kenapa dia baru bertanya sekarang?

Lukas menatap Dhanti dalam-dalam. "Kamu kenapa, Dhanti?"

Baru, ya, itu mata dipakai buat menatapnya serius. Tujuh belas menit yang lalu, mata itu dia pakai buat apaan? Buat pajangan?

Dhanti hanya mengangkat bahu. Perasaan ini sungguh tidak nyaman. Mungkin, ia cemburu. Namun, tidak ada apa-apa di antara dia dan Lukas. Ya, dia sudah berbulan-bulan jalan dengan Lukas. Tetapi, hubungan Dhanti dan Lukas tidak resmi. Hubungan tanpa nama. Maka, dalam kasus ini, Dhanti tidak ubahnya sepatu flat.

Gak punya hak.

Mood Dhanti tidak kunjung pulih, bahkan ketika mobil Lukas meluncur dan Lukas mengemudi sambil bersenandung. Rasanya, Dhanti mau membekap mulut Lukas sambil berteriak, "Bisa diem, gak? Gue lagi bete!", tapi, tidak Dhanti lakukan.

Senji ✔️ | DAINTY vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang