Raida suka mendengar.
Ia suka mendengar suara gemericik air hujan, gesekan ranting pohon yang terkena terpaan angin, deburan ombak di pantai, kicauan burung di pagi hari, desisan roti bakar buatan Mbok Suci, air mengalir di pancuran, pisau yang memotong sayur atau buah, tanah liat yang ditepuk-tepuk, musik, radio, podcast, audio book, apa pun yang berhubungan dengan suara.
Raida suka mendengar semuanya.
Sebab ia hanya bisa mendengar.
Ia hanya bisa mendengar acara televisi tanpa bisa melihat bagaimana orang-orang bercakap-cakap di balik layarnya. Ia hanya bisa mendengar desisan roti bakar buatan Mbok Suci tanpa tahu roti tersebut sudah matang dengan pas atau belum. Hanya bisa mendengar detik jarum jam yang berputar tanpa tahu sekarang pukul berapa. Raida Arsy Gutama hanya bisa mendengar, tidak bisa melihat.
Dunianya gelap. Hanya hitam dengan setitik cahaya buram yang terkadang ingin ia robek cahaya itu hanya agar ia bisa tahu bahwa di tempatnya berdiri, ia tidak sendirian.
Namun, di antara banyak suara yang disukai, Raida juga punya daftar suara yang dibenci. Suara tangis mamanya, suara bentakan papanya terhadap Kaela, suara piring yang tak sengaja jatuh ke bawah, dan suara-suara yang mengejutkan lainnya. Kini, ada satu suara baru saja masuk ke dalam daftar itu, yaitu gerutuan panik Kaela di luar mobil, juga derap sepatu hak tingginya yang menghantam trotoar. Raida sudah berhenti menghitung jumlah entakan kaki kesal dan panik Kaela pada hitungan ke tujuh belas.
“Hubungin Mama atau Pak Anjas!” Raida berseru dari dalam mobil, ia tahu Kaela ada di dekatnya.
“Nggak. Jangan.”
“Kalau gitu, gue yang hubungin.” Raida sudah meraba tasnya untuk mengeluarkan ponsel dan siap menelepon. “Please, call—”
“Ra!?” pekik Kaela, merebut ponsel Raida dengan cepat. “Mama bakal panik banget kalau tahu kita nyasar gini. Dan Pak Anjas …, nggak ada. Dia nganter Papa ke luar kota, baru pulang nanti malem.”
“Terus kita mau nunggu sampai malem? Sampai Pak Anjas pulang? Biar bisa nolongin kita tanpa Papa dan Mama tahu?”
“Ra, please …. Biarin gue mikir dulu, sebentar. Gue coba hubungin Askar dulu, dia kayaknya emang lagi … sedikit sibuk.” Kaela meringis kecil, tak yakin dengan yang diucapkannya barusan.
Raida berdecih pelan. Tidak benar-benar mengharapkan tunangan kakaknya itu untuk datang, ia sudah bisa menebak. “Dia nggak akan dateng.”
Kaela mengembuskan napas panjang. Ini rentetan hari sialnya. Mulai dari hasil desainnya yang tidak disetujui oleh kepala tim karena dianggap model yang ketinggalan jaman, tunangannya mendadak membatalkan janji kencan, dan karena hal itu, ia harus menjemput Raida di tempat les piano seorang diri. Meski tiga bulan sudah ia mulai berani mengemudikan mobil lagi setelah trauma pada apa yang terjadi empat tahun lalu, nyatanya tetap sulit. Kaela berharap Askar memahami kondisinya dengan tidak membatalkan janji sepihak, lelaki itu justru menghilang dan sekarang tak bisa dihubungi.
Ia kesulitan membaca peta—lebih tepatnya selalu salah belok dari yang ditunjukkan oleh navigasi di ponsel yang padahal suaranya sudah dibuat sebegitu keras. Menabrak taffic cone sampai STNK mobilnya ditahan oleh kepolisian dan harus menghadiri persidangan, lalu kini Kaela tak tahu ada di mana setelah beberapa kali salah belok itu. Yang paling sial, ban mobilnya bocor.
Kaela harus membulatkan tanggal ini di kalender mejanya. Sungguh hari yang bersejarah.
Ya …, meski desain bajunya tak disetujui, setidaknya jika Askar tidak membatalkan janji kencan mereka, mungkin ia tidak akan merasa seburuk ini. Mereka berdua akan menjemput Raida seperti yang sudah direncanakan karena sang mama yang biasa menjemput harus pergi pengiriman guci-guci tanah liat buatannya yang sedikit mengalami masalah. Mereka bertiga akan melanjutkan dengan makan malam bersama sebelum pulang ke rumah dengan perasaan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.