EDS30 # Takut

701 82 87
                                    

Jero pernah beberapa kali masuk ke kamar Raida. Kamarnya luas, tapi tak banyak barang yang ditaruh di dalamnya. Hanya ada kasur dengan napas kecil di sampingnya, lalu lemari pakaian, dan meja rias yang saling diletakkan berjalan. Memang sengaja dibuat begitu agar Raida leluasa melangkah.

Dan hari ini untuk pertama kalinya Jero masuk ke kamar Kaela yang sama luasnya, tapi lebih banyak barang di dalamnya. Ada gantungan baju, meja rias dan meja kerja, lemari kecil dan televisi, rak kecil berisi stoples makanan, belum lagi yang menggantung di dinding cukup ramai. Ia membopong Kaela masuk ke kamar itu, membaringkannya ke tempat tidur dengan diikuti Mbok Suci di belakangnya yang sudah membawa kotak P3K dan baskom berisi air hangat.

Fendi ingin membawa Kaela ke rumah sakit, tapi perempuan itu menolak keras. Mengatakan bahwa kalau ia ke rumah sakit sekarang, besok pernikahannya akan batal. Jadi Fendi hanya akan memanggil seorang dokter ke rumah untuk memberi Kaela obat atau sekadar infusan, dan Kaela setuju. Tapi sebelum dokter itu sampai yang mungkin agak lama, luka di tangan Kaela harus diobati dulu.

"Mbok, tolong bikinin teh anget buat Kael, ya," Jero tersenyum seraya mengambil alih kotak P3K itu dan baskom tersebut.

"Iya, Mas." Mbok Suci mengangguk. "Mau sekalian Mbok bikinin bubur nggak, Mas?"

Jero melirik ke arah Kaela sejenak. "Eum … kalau boleh, minta tolong dibeliin aja, Mbok. Biar nggak nunggu kelamaan."

"Oh, iya. Biar Mbok bilang Bapak." Setelah itu Mbok Suci meninggalkan mereka berdua di sana.

Kemudian Jero menarik kursi untuk duduk di samping tempat tidur di mana Kaela dibaringkan, lalu mulai membersihkan darah di luka itu dengan kain menggunakan air hangat. Kaela meringis kecil karenanya.

"Lo pasti benci gue," kata perempuan itu, memalingkan wajah, tak ingin menatap Jero.

"Gaun lo tangannya pendek, nggak boleh ada yang lihat kalau lo terluka besok." Jero tak menghiraukan.

"Lo boleh benci gue," katanya lagi.

Lama Jero diam seraya mengoleskan obat merah ke luka itu sebelum kemudian berujar, "Gue bakal jadi suami yang baik."

"Lo boleh benci gue, tapi jangan cinta sama Rara lagi."

Jero membalutkan perban ke tangan Kaela. "Kenapa lo mau gue jadi suami lo?" tanyanya. "Orangtua lo nggak apa-apa kalau lo batal—"

"Gue akan jadi orang yang menyedihkan," balas Kaela. "Gue udah jadi orang yang menyedihkan selama ini, dan gue nggak mau jadi orang yang tambah menyedihkan. Rara suka sama lo, Mama dan Papa juga suka sama lo. Gue butuh waktu cukup lama buat bawa Askar ke rumah dan Papa ngasih izin gue pacaran sama dia, tapi Rara … semudah itu dapet izin deket sama lo."

Jero diam.

"Gue yang bawa lo ke sini. Gue yang minta lo jadi supir gue. Gue yang ngasih lo pekerjaan. Gue …. Gue cuma minta lo buat jadi temen Rara, bukan jatuh cinta sama dia."

Jero ingin membalas, tapi ia memilih diam, fokus pada pekerjaan. Toh, untuk apa ia membela diri ketika ia sudah mengambil keputusan? Ketika ia sudah menyakiti Raida. Waktu tidak mungkin bisa diputar. Dan walaupun ia bisa mengubah keputusan saat ini, keputusannya jelas akan lebih banyak menyakiti orang.

"Lo harus ganti baju," ujar Jero setelah selesai mengobati luka Kaela, menatap baju yang Kaela kenakan yang kena bercak darah.

Jero baru akan bangkit dari tempat duduknya untuk meninggalkan Kaela, tapi perempuan itu menahannya. "Bantuin," katanya, membuat Jero mengerutkan kening. "Bantuin gue ganti baju."

"Kael—"

"Kenapa? Toh, lo besok bakal nikahin gue. Lo besok bakal jadi suami gue. Gue besok bakal jadi istri lo. Lo bakal lihat tubuh gue. Gue bakal lihat tubuh lo. Apa lo nggak berniat nyentuh gue karena lo benci sama gue?"

Ekspektasi Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang