Ada banyak yang hilang ketika Raida tidak bisa lagi melihat—bukan hanya sekadar penglihatannya, tapi Raida hampir kehilangan seluruh kehidupannya yang nyaris sempurna.
Di tahun terakhir masa sekolahnya, Raida harus rela berhenti karena kecelakaan itu. Ia kehilangan teman-temannya, bahkan pacarnya yang sudah menjalin hubungan dengannya hampir satu tahun. Raida juga seperti kehilangan seluruh prestasi yang diraihnya semasa sekolah.
Ia terpukul, sedih, marah, murka pada dunia dan seisinya. Menganggap bahwa semesta membencinya karena selain kegelapan merenggut teman-teman dan pacar dari kehidupannya, kegelapan juga merenggut mimpi-mimpi dan seluruh kegemarannya.
Raida adalah penari balet. Sejak kecil, ia sudah mengikuti pelatihan dan banyak mengikuti pertunjukan serta kompetisi balet yang membuat namanya perlahan dikenal sebagai salah satu pemilik langkah dan putaran paling indah. Jika kecelakaan itu tak terjadi, ia akan jadi salah satu penari balet yang akan tampil di pertunjukan besar di Jepang, tepatnya di Nissay Theater. Ia marah, kesal, ingin mengutuk dunia. Tapi apa yang bisa ia lakukan saat itu selain menangis?
Tidak ada.
Satu-satu yang bisa Raida lakukan adalah menerima kegelapannya.
Empat tahun berlalu sejak kecelakaan itu, baru satu tahun terakhir Raida kembali menempati kamarnya yang ada di lantai dua. Sebelumnya—setelah kecelakaan terjadi, Raida terpaksa harus menempati kamar lantai bawah demi mempermudahnya mengakses ruangan-ruangan penting di rumah yang memang lebih banyak di lantai bawah. Dan meski sudah kembali ke kamar lamanya, kamar itu tidak lagi sama dengan kamarnya yang dulu saat ia masih bisa melihat. Tak ada lagi kasur tingkat dengan bagian bawah yang dibuat sebagai meja belajar. Tak ada lagi barang-barang yang sengaja diletakkan di tengah ruangan demi menunjang dekorasi. Semuanya diletakkan di tempat yang aman, dan diberikan seminimalis mungkin demi mempermudah Raida menemukan barang yang dibutuhkannya.
Sejak bangun pukul setengah enam pagi dan setelah menemukan jam tangan yang ternyata terselip di bawah bantal, Raida sudah duduk di sofa tunggal yang bulan lalu ia pinta pada mamanya agar diletakkan di dekat jendela kamar karena musim hujan sudah tiba. Ia membuka daun jendela lebar-lebar, membiarkan udara dingin pagi hari dari hujan sejak semalam yang belum juga reda menerpanya, tak peduli juga pada percikan kecil hujan di luar mengenai wajah atau tangannya.
Raida suka hujan. Ia tak bisa melihatnya, namun bisa merasakannya. Itu menyenangkan.
"Mbak Ela, itu taksinya udah dateng!" suara Mbok Suci yang berteriak terdengar oleh telinga Raida.
Iya, seharusnya memang begitu. Seharusnya kemarin Kaela tidak perlu repot-repot menjemput Raida di tempat les, memanfaatkan kepercayaan sang mama pada kemampuan menyetirnya yang baru kembali sejak tiga bulan lalu. Kaela seharusnya memesankan taksi saja untuk Raida pulang ke rumah. Kaela seharusnya hanya menunjukkan kemampuan menyetirnya itu untuk berangkat dan pulang kantor—sebab hanya itu jalan yang benar-benar dihafalnya. Kaela seharusnya tidak perlu menguji dirinya sendiri dengan mencoba berkendara di jalanan lain setelah kecelakaan empat tahun lalu, apalagi bersama Raida. Kaela seharusnya tidak melimpahkan emosinya karena Askar membatalkan janjinya dengan mencoba membunuh dirinya sendiri dan Raida untuk yang kedua kali.
Jika begitu, mereka berdua tidak akan terlibat perang dingin semalam yang membuat Raida berteriak dan Kaela menangis.
"Ela udah berangkat?" tanya Raida ketika sang mama masuk ke kamarnya. Wanita itu mendengus melihat Raida duduk menghadap ke jendela yang terbuka, dan sekarang sedang menutupnya rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.