Eldra adalah orang pertama dan terakhir yang Raida pacari, sekaligus orang pertama dan terakhir yang mencium bibirnya. Bersama Eldra, Raida tahu bagaimana rasanya dicintai dan mencintai meski ketika itu mereka masih duduk di bangku sekolah, tapi hubungan mereka yang berjalan dua tahun lebih sudah cukup membuat Raida paham cukup banyak soal cinta. Kalau saja kecelakaan itu tak terjadi, apa ia masih berpacaran dengan Eldra? Karena sejatinya mereka jarang sekali berdebat.
Empat tahun lalu Raida terakhir kali melihat Eldra. Empat tahun lalu juga Raida terakhir kali bertemu dengan Eldra. Setelah kecelakaan itu terjadi Raida memutus segala hubungan dengan semua orang kecuali keluarganya. Teman bahkan pacar, Raida tak ingin menemuinya.
Selama ini orang-orang menyangka bahwa mereka yang memutus hubungannya dengan Raida, tak ingin bertemu lagi dengan orang yang kini tak bisa melihat dan yang pastinya akan merepotkan kalau bertemu. Padahal yang terjadi, Raida yang justru menjauh. Ia melarang teman-temannya untuk datang menjenguk ke rumah, berusaha membuat mereka membencinya karena Raida tak ingin berhubungan dengan siapa pun. Ia juga yang memutus hubungannya yang sudah dijalin dua tahun lebih itu dengan Eldra.
Hal itu mungkin menyebalkan, tapi mengetahui bahwa ia tak bisa lagi melihat dan akan merepotkan orang di sekitarnya jauh lebih menyebalkan. Raida benci merepotkan orang lain, Riada juga benci bertingkah menyebalkan di depan orang lain.
“Aku denger, kamu kuliah kedokteran,” ujar Raida, membuka percakapan setelah keduanya memutuskan untuk mengobrol berdua dengan Eldra yang memintanya.
“Iyaa. Sekarang baru lanjut profesi.”
“Keren,” sahut Raida. “Kamu akhirnya beneran bisa masuk kedokteran.”
Eldra tertawa.
Dalam hati Raida berucap kata rindu pada suara itu. Suara yang dulu hampir setiap malam mengisi sambungan teleponnya untuk sekadar mengobrol atau malah membahas tentang pelajaran. Raida ingat modus kencan mereka di akhir pekan biasanya diberi judul belajar bersama atau kerja kelompok, padahal jelas-jelas mereka kencan dengan makan di restoran atau nonton film, walau ujung-ujungnya buku yang mereka bawa dari rumah tetap dibuka agar tetap pada judul belajar bersama.
Raida dan Eldra adalah dua murid pintar yang sejatinya selalu bersaing dalam memperebutkan puncak paling atas peringkat paralel sekolah. Biasanya, dua orang itu selalu membenci, tapi Raida dan Eldra justru saling jatuh cinta. Eldra tak pernah ngambek kalau di semester ini harus puas di angka dua sedangkan Raida menempati posisi puncak. Dan Raida tidak pernah marah kalau di semester berikutnya Eldra menggeser posisinya, begitu juga sebaliknya. Biasanya mereka akan saling menghibur satu sama lain dengan mentraktir makan.
Raida ingat, di tahun terakhir mereka bersekolah, Eldra selalu membicarakan perihal universitas dan jurusan yang harus ia masuki setelah lulus nanti. Dan ternyata Eldra berhasil meraihnya. Raida jadi bertanya–tanya, kalau kecelakaan itu tak terjadi, dan ia masih bisa melihat serta tak harus putus sekolah di dua bulan tersisa waktu Ujian Nasional, apa Raida juga bisa masuk kampus impiannya?
Anne dulu menyuruhnya untuk fokus pada balet,sedangkan Fendi menyuruh untuk masuk bisnis. Padahal, setelah lulus nanti, Riada ingin berhenti dari balet daan jurusan paling dihindarinya adalah bisnis.
“Aku juga dengar kalau kamu sekarang main piano,” ujar Eldra.
“Iya …. Mamaa nyruh aku nyaari kesibukann laain seelaah nggak bisa lagi di balet.” Itu menyedihkan. Sangat menyedihkan. Anne butuh waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan Raida agar mau mulai belajar main piano setelah melihat Raida begitu terpukul karena tak bisa lagi menari balet.
“Kamu memang berbakat dalam hal apa pun,” balas lelaki itu. “Kamu tahu nggak keunggulan kamu yang nggak pernah aku miliki sekalipun aku berhasil salip ranking kamu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.