EDS31 # Terakhir

1.1K 91 59
                                    

Sudah sepuluh hari sejak Jero dan Kaela menikah. Jero tak merasa banyak perubahan dalam dirinya selain perasaannya yang agaknya makin kacau. Dan meski sudah menikah, Jero tidak benar-benar tinggal di rumah bersama Kaela. Sejak memutuskan untuk kembali ke ruang siaran dua hari setelah menikah, Jero lebih suka pulang ke kontrakannya sendiri, lalu bangun pagi-pagi sekali untuk datang ke rumah tersebut dan mengantar Kaela ke kantor, seperti biasanya, seperti dulu, seperti sebelum semuanya menjadi berantakan.

Jero tak bisa lama tinggal di rumah itu karena dengan ia di sana, akan membuatnya semakin sering bertemu Raida dan itu menyiksa perasaannya sendiri. Anne dan Fendi yang agaknya paham perihal itu memilih untuk diam, sebab memang tak ada yang bisa mereka lakukan pada Jero, karena yang menempatkan Jero pada posisi seperti ini adalah Kaela, adalah anaknya sendiri. Sekalipun Jero berkata setuju untuk menikah dengan Kaela, mereka tak bisa memaksa Jero untuk memperlakukan Kaela selayaknya seorang suami pada umumnya. Mereka hanya berharap Kaela lekas membaik.

"Mau makan ramen dulu nggak?" tanya Kaela begitu ia masuk ke dalam mobil saat Jero menjemputnya.

Jero menoleh, menatap datar. Tak ada lagi senyum hangat yang ceria saat menyambut kedatangan Kaela di dalam mobil, tak ada lagi pertanyaan manis dan hangat yang membuat Kaela merasa dihargai seharian ini. Benar-benar tak ada. Jero sudah berubah. Yang tersisa hanya sorot mata lelah dan senyum kecil yang dipaksakan.

"Ayo dong …. Gue udah lama banget pengin makan ramen," Kaela agak merengek.

Jero mendesah. Ia menggerakkan rem tangan sebelum kemudian menginjak pedal gas untuk melakukan mobil. Tanpa kata, ia menurut.

Seperti biasa, Kamagawa Resto di setiap sore selalu ramai. Restoran yang tak terlalu besar itu memang jadi tempat yang menyenangkan untuk bertemu dengan seseorang sembari makan setelah pulang bekerja. Beruntung, masih ada tersisa satu meja lagi untuk Jero dan Kaela. Mereka langsung memesan dan duduk di sana.

Tak ada pembicaraan yang mereka lakukan sampai pesanan mereka sampai ke meja keduanya. Kecanggungan itu bahkan lebih terasa dibandingkan ketika mereka pertama kali bertemu. Jero tak punya hal yang ingin ia bicarakan, dan Kaela terlalu takut untuk memulai lebih dulu.

"Jero," tapi akhirnya Kaela memaksakan dirinya untuk mengeluarkan suara selagi Jero mengaduk ramennya. "Gimana soal nenek lo?" tanyanya.

Jero mengangkat kepala. "Nenek?"

"Iya, soal … warisan itu. Papa bilang, om dan tante lo ngajarin tuntutan."

"Oh, itu? Gue males ambil pusing. Gue bagi sama mereka. Nggak penting juga buat gue."

"Iya, tapi, kan, itu …." Kaela memilih bungkam., tak ingin melanjutkan karena takut Jero semakin membencinya sebab ia mau ikut campur.

"Biarin. Yang penting gue punya simpenan buat sehari-hari. Dan buat buka usaha …." Jero juga tak melanjutkan, enggan membicarakan perihal rencananya terhadap warisan sang nenek yang sudah diterimanya untuk membuka sebuah bisnis, meski tak tahu usaha apa yang harus ia tekuni karena selama sepuluh hari ini kepalanya benar-benar tidak bisa diajak berpikir lebih dalam.

Kaela menunduk, menyadari untuk yang kesekian kalinya bahwa mereka memang bukan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bahkan cincin pernikahan mereka pun Jero tak memakainya, dilepas begitu saja di kamar hotel tempat mereka mengadakan pernikahan, dan Kaela yang menemukannya.

Jero sangat membencinya. Kaela tahu.

Tapi tak terlalu membenci untuk memberinya sebuah kesempatan untuk berpikir lebih banyak, untuk menyadari apa yang sudah Kaela lakukan terhadap banyak orang, untuk melihat berapa banyak yang terluka karenanya.

Ekspektasi Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang