Di balik selimut tebal yang membuatku tubuh kecil itu, Raida duduk memeluk lututnya saat Jero membantu mengeringkan rambut dengan hair dryer. Ia belum mengatakan apa pun sejak ciuman mereka di depan rumah tadi. Penasaran, apakah ada orang yang memergoki mereka atau tidak, Jero pun rasanya tak ingin mengatakan apa-apa.
Raida jadi bertanya-tanya, apa Jero menyesalinya? Mencium perempuan buta yang tak bisa melihat wajahnya sendiri. Apa Jero bersungguh-sungguh menyukai Raida? Seperti yang diucapkan lelaki itu. Karena rasanya tak mungkin lelaki seperti Jero menyukai perempuan yang tak bisa berjalan sendiri tanpa bantuan tongkatnya.
Di samping itu, Raida juga bertanya-tanya, apa Jero sering melakukannya? Berciuman dengan banyak perempuan. Sebab rasanya Jero terlalu andal dalam melakukan hal itu. Jero benar-benar bisa memporak-porandakan kewarasan Raida hanya dengan sentuhan kecil di bibir. Jero lebih dari kata jago dalam berciuman. Raida sempat hendak protes kala lelaki itu menyudahi kegiatan mereka. Ia tak ingin Jero berhenti. Ia ingin Jero melakukannya lagi. Tapi ia cukup tahu diri untuk menahan hasrat gila itu yang rasanya bisa meledak kapan saja.
"Udah selesai!" seru Jero bersamaan dengan suara dengung dari hair dryer itu tak terdengar lagi. Dan membuyarkan lamunan Raida yang tanpa sadar tangannya ikut menyentuh bibirnya sendiri, merasakan kelembaban yang Jero berikan masih tertinggal di sana.
"Mau ke ruang tengah?" tanya lelaki itu setelah mencabut hair dryer dan meletakkannya di atas meja.
Raida hanya mengangguk. Ia sudah siap untuk turun dari stool ketika Jero tiba-tiba mengangkat tubuhnya tanpa aba-aba, membuatnya menjerit kecil dan menegang seketika.
Tubuh Raida yang terbungkus selimut itu begitu ringan dan mudah saat Jero angkat dengan kedua tangannya. Ia terkekeh geli melihat Raida yang hanya terlihat bagian kepalanya saja karena seluruh tubuhnya benar-benar terungkap selimut. Wajahnya memerah, membuatnya terlihat lebih lucu dan menggemaskan. Ia bisa berlama-lama menggendong perempuan itu kalau tak ingat ada Mbok Suci di rumah ini yang sedang membuatkan bubur hangat untuk Raida.
"Kenapa angkat-angkat aku, sih?" protes perempuan itu saat Jero sudah mendudukkannya di atas sofa.
"Takut lo jatuh."
"Jatuh gimana? Aku udah hafal seluruh sudut rumah ini. Nggak akan jatuh kalau bukan karena ada orang naruh barang sembarangan."
"Bukan karena itu. Tapi karena selimut lo ini. Lo bisa jatuh kalau salah langkah."
"Ya, kan, bisa aku lepas dulu. Kak Jero tinggal—"
"Udah gue gendong. Udah sampai di ruang tengah. Udah duduk juga di sofa. Udah, nggak perlu ada yang diprotes lagi, ya."
Raida mencebik. Ia mengeratkan kembali selimut tebalnya. Di luar hujan belum sepenuhnya berhenti, angin bahkan terasa semakin kencang bertiup, membuat hoodie yang dikenakan tak cukup untuk membuat tubuhnya lebih hangat, jadi Mbok Suci memberikan Raida selimut tebal.
"Gue ke dapur dulu, ya. Gue bikinin teh anget."
"Suruh Mbok Suci aja," balas Raida, tak ingin Jero terlalu lama meninggalkannya.
"Mbok Suci lagi bikin bubur buat lo. Lo katanya mau bubur."
"Iya, tapi Mbok Suci bisa kok sambil bikinin teh anget."
"Bentar doang, Ra."
"Iya, tapi—" Ucapannya langsung terhenti saat Jeri terasa duduk di sebelahnya dan tiba-tiba tangan dingin itu menyentuh pipinya, membuatnya agak terkejut.
"Gue bakal balik lagi bawa teh angetnya. Tenang aja."
Raida membuang napas panjang. Dan sebelum Jero benar-benar pergi dari sana, lelaki itu mengusak pelan puncak kepala Raida seraya tersenyum gemas. Jero tahu ketika ia memutuskan untuk memenangkan perasaannya, ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk bahwa ia akan kembali menjadi orang yang mematahkan harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.