Kalimat gombal tentang sinar cerah matahari yang pindah ke senyuman seseorang itu sepertinya bukan sekadar kalimat gombal semata, tapi memang nyata adanya. Jero bisa melihatnya sendiri, bagaimana Raida tak berhenti tersenyum selama dalam perjalanan mereka di dalam MRT.
Mulanya memang gugup, terlihat sekali di wajah Raida saat Jero menuntunnya secara perlahan untuk masuk ke dalam gerbong kereta. Raida bahkan tak lagi malu-malu atau ragu untuk memeluk erat sebelah tangan Jero saat mereka sudah duduk dan kereta bergerak melaju. Jero memberitahu bahwa keadaan gerbong sepi, hanya ada beberapa penumpang di dalam setiap gerbongnya, tapi itu tak berhasil membuat Raida terlihat nyaman.
Nyaris merasa bersalah, Jero akhirnya berbisik dengan lembut di telinga Raida, "Mau coba berdiri nggak?" tanyanya.
Tanpa kata, hanya pegangan tangan yang semakin erat dan gelengan kecil di kepala, Raida menolak.
"Cobain deh, sensasinya jauh lebih enak daripada duduk. Lo nggak lagi pegel-pegel, kan?"
"Nggak mau," desis Raida.
"Ada pegangannya di atas kepala, lo bisa pegangan di situ, tapi tangan lo yang satunya nggak akan gue lepas."
Perempuan itu menggeleng lagi.
"Gue kasih mantra ajaib dari Jepang biar lo berani."
Raida tak menjawab saat Jero membisikan kalimat yang tak jelas, nyaris seperti orang kumur-kumur.
"Ya udah, gue berdiri dulu."
Ada gerakan tak rela saat tangan Jero hilang dari pelukan Raida, berganti dengan genggaman tangan biasa yang bisa Raida rasakan bahwa kini lelaki itu sudah berdiri di hadapannya.
"Beneran nggak mau coba?"
Raida menggeleng lagi.
"Bener? Padahal mantra Jepang gue manjur banget lho buat bikin seseorang jadi berani."
Perempuan itu diam, dan diamnya menjadi sinyal baik untuk Jero. Dengan lembut dan halus, serta gerak pelan, Jero menarik Raida untuk ikut berdiri dengannya. Memang terlihat ragu dan takut, apalagi saat Jero menggapai tangan Raida untuk diletakkan di hand grip yang berada tepat di atas kepalanya. Dan agar Raida tidak terlalu takut, Jero memeluk bahunya agar dia berdiri lebih nyaman.
Setelah dirasa Raida menikmati perjalanannya dengan berdiri sembari memegang hand grip, Jero perlahan melepas rangkulannya, beralih hanya memegang tangan untuk tetap memastikan bahwa ia tak meninggalkan Raida sendirian di sana.
Dan saat itulah Jero melihat bagaimana senyum Raida terangkat, bersamaan dengan rasa tak nyaman yang ikut menguap. Saat suara kereta yang meluncur secara halus masuk ke telinganya, saat di pengeras suara yang silih berganti mengumumkan pemberhentian stasiun berikutnya atau saat pintu dibuka dan ditutup, saat suara pengunjung lain yang mengobrol dan tanpa sadar tak lagi mengganggunya. Saat itu Raida mulai tersenyum, ia merasakan sesuatu yang lain yang tak pernah dirasakan sebelumnya dalam empat tahun kegelapannya.
Jero ikut merasa senang, ia tersenyum bangga, tapi juga menyesal saat harus memberitahu Raida bahwa mereka harus turun di stasiun berikutnya untuk nanti menyambung perjalanan menggunakan busway.
Raida juga terlihat kecewa, ia sampai melepas tangannya dari hand grip dan bergerak untuk kembali duduk. "Masih jauh stasiunnya?" tanyanya pada Jero yang juga ikut duduk dengannya.
"Nggak, bentar lagi."
"Habis ini naik busway?"
"Habis ini kita makan dulu."
"Makan?"
Jero bergumam pendek. "Iya, nanti deket stasiun ada banyak pedagang makanan pinggir jalan. Lo laper nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.