Jero kembali lagi ke rumah itu. Berlantai dua, bercat putih dengan belasan tanaman hias dan rumput Jepang yang terawat di halaman depan. Ada dua mobil yang terparkir di carport, salah satunya Jero sudah pernah menaikinya.
Jelas bukan tanpa alasan Jero kembali ke rumah itu, setelah bertemu dengan Kaela tempo hari, perempuan itu esok harinya kembali menelepon Jero untuk mengatakan sesuatu yang Jero pikir awalnya hanya dikatakan sebagai gurauan semata.
"Jero, gue serius soal tawarannya," ujar Kaela. "Dateng hari Minggu ke rumah gue, gue kenalin ke Papa sama Mama, besoknya lo bisa langsung kerja."
Jero yang sedang melahap makan malamnya terbatuk seketika mendengar kalimat yang dilontarkan Kaela. "Kael, lo lagi mabuk, ya? Lo lagi di mana sekarang? Masih berantem sama cowok lo?"
"Nggak usah bahas Askar. Gue mau bahas soal kerjaan," Kaela protes. "Gue beneran pengin lo jadi sopir gue."
"Kenapa gue?"
"Karena lo bisa nyetir. Lo punya SIM, kan?"
"Gue—"
"Gue nggak peduli badan lo penuh tato, lo punya pengalaman jadi sopir atau nggak, gue cuma butuh lo nyopirin gue sama Rara aja."
Jero meneguk minumnya, meninggalkan sejenak nasi dan pecel ayamnya untuk berbicara serius dengan Kaela.
"Gue nggak akan ganggu jadwal siaran lo. Gue janji," sambung Kaela sebelum Jero menanggapi kalimat sebelumnya.
"Kenapa gue?" untuk yang kedua kali, Jero melontarkan pertanyaan itu. Sebab meski ini bisa dikatakan keberuntungan, rasanya terlalu tiba-tiba, dan Jero sedikit merasa tak nyaman.
"Karena lo bisa nyetir—"
"Kael, gue serius. Kenapa gue? Orang yang bisa dibilang baru lo temuin kemarin sore, padahal kalau lo mau nyari sopir beneran, lo bisa cari orang yang berpengalaman, yang pastinya lebih terpercaya."
Kaela diam sejenak, hanya deru napas pelannya yang bisa Jero tangkap di balik telepon itu. "Pertama, lo udah nolongin gue sama Rara. Gue udah bener-bener naruh kepercayaan ke lo kalau lo itu orang baik. Gue nggak perlu orang berpengalaman, asal nggak nyetir ugal-ugalan di jalan, bagi gue udah cukup. Dan gue udah buktiin waktu lo anter gue sama Rara kemarin itu. Gue cuma butuh orang baik dan menyenangkan kalau diajak ngomong. Lo punya itu."
Kali ini Jero yang diam mendengar setiap kata yang Kaela ucapkan. Mendadak ia kehilangan kata-katanya. "Kenapa lo butuh orang yang menyenangkan buat diajak ngomong? Lo nggak punya temen buat diajak ngobrol?"
Kaela tertawa. "Enak aja. Temen gue banyak, ya. Dan gue punya Askar, cowok gue."
"Oke, ternyata lo udah baikan."
Perempuan itu hanya membalas dengan deham singkat, membuat Jero seketika tertawa.
"Terus?"
"Bukan buat gue. Tapi buat Rara …."
Keheningan kembali terjadi, lebih lama dari sebelumnya. Dan Jero benar-benar tak tahu harus menanggapi apa sampai suara Kaela kembali terdengar.
"Gue pengin Rara punya temen ngobrol selain Mama atau Mbok Suci kalau di rumah. Gue sama Papa lebih banyak ngabisin waktu di kantor, dan Mama juga sebenernya punya studio keramik yang harus selalu ditengok. Rara suka ikut ke studio sih, tapi kata yang gue bilang, Rara nggak terlalu suka ketemu banyak orang. Di studio tuh banyak karyawan Mama, belum lagi kalau lagi anak-anak sekolah atau organisasi tertentu yang dateng buat belajar di sana. Jadi, ya …, bisa dibilang, cuma Mbok Suci yang sering ngajak ngobrol Rara. Selebihnya, Rara lebih suka sama hapenya. Denger musik, radio, podcast, atau audio book. Gue berharap, walaupun nggak setiap menit atau setiap hari, Rara punya orang baru yang bikin dia nyaman buat diajak ngobrol."
![](https://img.wattpad.com/cover/292176763-288-k5526.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Roman d'amour[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.