Sudah satu tahun sejak Jero memutuskan untuk menitipkan sang nenek ke sebuah panti jompo. Bukan karena ia tidak ingin merawatnya atau secara tak langsung membuangnya. Jero tidak mungkin melakukan hal itu. Justru karena ia kasihan dan merasa bersalah jika sang nenek terus tinggal bersamanya.
Jero harus bekerja setiap malam setiap harinya di sebuah saluran radio swasta yang membuatnya tidak bisa menjaga neneknya secara penuh.
Sanju yang berusia 78 tahun menderita demensia di mana ingatannya perlahan memudar dan terkadang tersusun secara acak. Jero takut ketika ia sedang tidak ada di kontrakan, Sanju tiba-tiba keluar lalu lupa jalan pulang. Atau terjatuh ketika berusaha ke toilet dan Jero tidak ada untuk cepat-cepat membantu. Atau yang paling parah, ketika kondisi kesehatan Sanju tiba-tiba menurun, Jero tidak ada untuk membawanya segera ke rumah sakit.
Demi menghindari hal itu, Jero memutuskan untuk menitipkan Sanju ke sebuah panti jompo agar setidaknya sang nenek punya teman untuk diajak mengobrol setiap harinya, dipastikan asupan makanannya setiap hari, dan tentu saja merawatnya segera jika kesehatan Sanju menurun.
Meski tahu dengan menitipkan Sanju ke panti jompo akan membuat waktunya bersama sang nenek terpangkas cukup banyak karena ia hanya sesekali datang untuk menjenguk, yang terpenting bagi Jero adalah keselamatan dan kesehatan sang nenek. Karena untuk saat ini, Jero ingin Sanju tetap ada untuknya, meski hanya sedikit lama, atau setidaknya sampai rasa sakitnya sembuh, sampai Jero sendiri bisa berdamai dengan keadaan. Dan untuk saat ini pula, hanya Sanju yang mampu menguatkannya, mampu membuatnya terus bertahan, meski cepat atau lambat, Jero yakin bahwa namanya pun akan jadi bagian yang dilupakan sang nenek.
"Lihat, aku bawa apa!?" Jero menggoyang-goyangkan kantong plastik yang dibawanya, tersenyum lebar pada Sanju yang sedang duduk di kursi dekat jendela di kamar.
Sanju menatap Jero, seperti sedang mengingat siapa yang kiranya sedang berdiri di sana. Jero yang melihat itu hanya menghembuskan napas, ia sudah terlalu sering mendapat tatapan semacam itu, khawatir jika selanjutnya Sanju akan bertanya siapa kiranya Jero. Walau tak lama, Sanju tersenyum lebar, bergerak bangkit dari kursinya, dan berjalan perlahan menghampiri Jero.
"Habis dari mana aja? Ibu nunggu kamu dari tadi!" serunya seraya meraih tangan Jero, lalu digenggamnya dengan erat.
Jero memang bisa bernapas lega, ia bahkan tersenyum kecil. Meski tahu yang dilihat Sanju kini bukan dirinya, setidaknya Sanju malam ini tidak melupakannya. "Kok belum tidur, sih?" tanyanya.
Sanju kembali duduk di tempat semula setelah Jero menuntunnya lembut ke sana. Ia masih memandang Jero dengan riang, matanya berbinar, benar-benar memperlihatkan betapa ia merindukan sosok yang dilihatnya saat ini. "Makanya jangan sering-sering lemburnya. Ibu di sini kesepian."
Jero yang sedang membuka kotak berisi martabak yang dibawanya kembali tersenyum. "Iya, nanti aku bakal lebih sering dateng ke sini."
"Tadi Amaya main ke sini. Kok nggak bareng sama kamu? Lagi marahan, ya?"
Kali ini Jero tak menjawab, ia hanya menatap mata neneknya yang tak henti memancarkan binar.
"Makanya, jangan lama-lama nundanya. Kapan kamu ngelamar Amaya? Perempuan tuh jangan dibikin nunggu lama, nanti diambil laki-laki lain, baru tahu rasa kamu." Sanju terkekeh kecil.
"Ayo dimakan martabaknya, nanti keburu dingin."
"Apa kamu harus ke Jepang buat ketemu orangtuanya kalau ngelamar Amaya? Tapi Amaya bilang, dia udah nggak punya siapa-siapa di Jepang, kan? Ya udah kalau gitu, bagus. Kamu nggak perlu repot-repot terbang ke sana, uangnya jadi bisa semuanya dipakai buat lamaran sama nikah." Neneknya masih berceloteh, masih berada di masa lalu, sedangkan Jero hanya bisa diam seraya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Storie d'amore[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.