EDS19 # Monster

778 106 27
                                    

Pertama kali Raida belajar menari balet adalah ketika usianya lima tahun. Ia suka menari. Suka sekali. Ia suka bagaimana tubuhnya seperti melayang di udara saat melakukan satu gerakan tarian. Ia suka bagaimana tubuhnya ke sana ke mari mengikuti irama. Terlebih ia suka bagaimana orang-orang berdecak kagum saat melihat tariannya.

Dulu, Raida hanya menggunakan balet sebagai hobi semata. Karena Kaela memulai kelas menggambarnya sejak kecil, dan teman-temannya pun mengikuti pelbagai kegiatan les tambahan untuk menambah bakat, Anne dan Fendi jadi merasa Raida harus mengambil les bakat juga, dan Raida memilih balet.

Balet merupakan tarian. Keindahannya diciptakan oleh gerakan indah yang ditangkap oleh pasang mata yang menonton. Raida suka bagaimana orangtuanya memuji bakat menari baletnya sejak hari pertama memulai les. Ia suka melihat mama dan papanya menonton ia menari balet.

Tapi sekarang, bagaimana ia bisa membuat pertunjukan yang diperuntukan untuk orang-orang yang bisa melihat ketika ia sendiri tak bisa melihat? Ia tak bisa, namun bukan berarti ia menyerah untuk bisa membuat orangtuanya kembali bangga saat menontonnya tampil di atas panggung. Ia memang kehilangan penglihatannya, tapi ia masih bisa mendengar. Ia masih bisa membuat pertunjukan di mana orang yang menonton bukan hanya sekadar melihat, tapi juga mendengar. Mendengar pertunjukannya, mendengar permainannya, dan mendengar bakatnya. Sebab saat ini ia hanya bisa mendengar.

"Percaya sama gue, lo bisa."

Itu kalimat terakhir yang Jero katakan ketika membimbingnya naik ke atas panggung dan mendudukkannya di depan sebuah grand piano.

Raida meletakkan jemarinya di atas tuts, merabanya sejenak, menarik napas kuat-kuat, berusaha sekuat tenaga untuk tak gugup, berusaha untuk tetap tenang. Meski singkat, ia sudah meminta guru lesnya mengajarkan satu lagu khusus untuk penampilan malam ini. Bukan lagu yang rumit, apalagi lagu baru yang belum pernah Raida mainkan sebelumnya. Hanya lagu sederhana yang sudah sering Raida mainkan. Lagu pertama yang berhasil ia selesaikan saat merasa bakatnya sebagai orang yang tak bisa melihat ditemukan.

Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang, ia gugup sampai rasanya tak bisa melakukan apa-apa dan pikirannya kosong. Raida ingin turun dari panggung karena terlalu takut. Rasanya semua orang di bawah sana sedang menatapnya dengan tatapan mengintimidasi. Ia cukup lama hanya berdiam di sana sampai tangannya kemudian disentuh oleh seseorang saat ia baru akan memutuskan untuk pergi saja dari sana. Raida tersentak, namun setelah tahu siapa yang menyentuhnya, perlahan rasa gugup itu menguap.

“Ra …,” panggilnya dengan begitu lembut, seakan suara itu seperti selimut yang menutupi tubuhnya yang menggigil kedinginan.

“Aku nggak bisa, Kak Jero.” Raida menggeleng. “Aku takut …. Takut banget.”

“Dengerin gue,” Jero berujar lagi. “Rasa takut itu harus lo lawan, Ra. Jangan dipelihara, jangan dibiarin menguasai pikiran dan perasaan lo. Lo pernah ngelewatin hal ini sebelumnya, pernah tampil di atas panggung, lo berani, lo suka, jadi kenapa sekarang nggak bisa?" Ia menggenggam tangan Raida begitu kuat.

"Beda, Kak Jero. Sekarang aku buta, aku nggak bisa lihat reaksi kayak apa yang ditunjukin orang-orang yang nonton aku sekarang. Aku cuma bisa nebak-nebak, dan itu pasti buruk. Mereka pasti seseorang lagi natap aku nggak suka.”

“Kata siapa? Itu kata diri lo sendiri, yang sebenarnya terjadi, mereka lagi nunggu lo dengan antusias,” balas Jero. “Lo emang nggak bisa ngeliat, tapi gue udah bilang berkali-kali, kan? Kalau lo masih bisa denger. Jangan mikir hal negatif terus, tapi harus mulai berpikir positif. Bayangin sesuatu yang baik aja, maka lo bakal denger hal-hal baik aja ke depannya. Percaya deh."

Raida diam.

“Mereka nunggu lo.” Lalu Jero melirik ke arah Renata, memberi isyarat. Dan ketika itu Renata langsung berseru menggunakan pengeras suara agar mereka yang berada di aula menyemangati Raida yang sedang gugup.

Ekspektasi Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang