Setelah datang sekali untuk melihat-lihat, dan beberapa kali berdiskusi dengan pemilik kontrakan, akhirnya hari ini Jero memutuskan untuk pindah ke kontrakan yang baru, yang lebih dekat dengan rumah Kaela dan Raida, juga sangat dekat dengan studio keramik Anne, hanya butuh berjalan kaki tiga menit saja.
Ketika Anne menawarkan kontrakan itu, Jero pikir itu hanya kontrakan biasa yang benar-benar kosong tanpa fasilitas apa pun, makanya ia sempat ragu. Tapi setelah melihat langsung, ternyata sudah disediakan single bed, lemari kecil, dan kipas angin, membuat Jero hanya butuh bernegosiasi soal harga sewa sebelum benar-benar memutuskan untuk pindah. Karena sejujurnya, Jero tak punya apa pun selama lima tahun terakhir ini sebab segalanya sudah habis dijual ketika sang nenek jatuh sakit dan ia butuh banyak dana untuk pengobatannya. Dan dari itu semua, Jero masih punya sedikit sisa tabungan yang tidak akan pernah ia sentuh jika tidak benar-benar mendesak. Ia takut kesehatan Sanju menurun drastis dan ketika itu ia tak punya siapa-siapa untuk dimintai pertolongan.
"Barang-barang lo beneran cuma ini?" Di ambang pintu, Kaela melipat kedua tangannya di depan dada, menatap tumpukan kardus berisi barang-barang Jero yang baru saja diturunkan dari mobil. Ada meja kayu juga, dan beberapa barang lain yang tak dimasukkan ke dalam kardus, hanya diikat menggunakan tali saja.
Kaela meminjamkan mobilnya pada Jero untuk mengangkut itu semua dari kontrakan lama—agak memaksa karena dua hari lalu Jero bercerita ia bingung mengangkut barang-barang itu ke kontrakan yang baru. Tapi Kaela sendiri tak ikut ke kontrakan lama. Ia memilih menunggu di studio keramik sang mama sampai Jero memberitahu bahwa lelaki itu sudah ada di kontrakan baru, dan Kaela baru datang ke sana bersama Raida yang juga dipaksa untuk ikut.
"Terlalu banyak atau terlalu sedikit?" Jero balik bertanya.
"Ini terlalu sedikit, Jero."
Jero tertawa. "Gue nggak punya TV, kulkas, atau speaker gede buat dangdutan. Gue kaum minimalis."
Kaela mendengus, ia menggiring Raida untuk duduk di kursi plastik yang tadi sengaja ia pinjam dari warung pemilik kontrakan. "Tapi lo emang bisa masak?" Ia melirik ke arah kompor satu tungku yang Jero miliki, yang memang tidak dimasukkan ke dalam kardus, bersamaan dengan selang regulator dan tabung gas hijaunya.
"Masak mi?"
"Itu gue juga bisa."
Lelaki itu kembali tertawa. "Gue biasa masak nasi buat makan, lauknya tinggal beli di warteg. Kalau masih sisa, suka gue angetin buat makan nanti biar nggak basi. Bisa masak air buat bikin kopi, teh, atau susu. Barangkali lo mau minum teh?"
Mengabaikan pertanyaan itu, Kaela kembali bertanya, "Tiap hari masak nasi?"
"Nggak juga. Kalau lagi nggak males aja. Setiap siaran, gue dapet jatah makan malem juga—eum … kadang uangnya buat beli cemilan doang sih, gimana jadinya aja, tergantung mood partner siaran gue juga."
"Partner siaran lo yang motongin rambut Rara?"
Sebelum mengangkat dua kardusnya untuk dipindahkan ke titik lain, Jero melirik ke arah Raida yang lebih banyak diam. "Iya, Mona. Ada Bang Opang juga. Sesekali ada Bu Tuti juga, bisa disebut kesialan atau keberuntungan kalau Bu Tuti ada."
"Kenapa?" tanya Kaela.
"Bu Tuti biasa dateng buat mantau, pasti dapet aja ceramahan yang nyerempet omelan, tapi enaknya ditraktir makan banyak selesai siaran, di luar jatah makan malem itu." Jero nyengir.
Kaela tertawa.
"Ngomong-ngomong …, lo mau ke mana?" Jero jadi memperhatikan Kaela yang terlihat lebih rapi. Maksudnya, ini akhir pekan, Kaela biasa berdandan rapi kalau mau kerja atau memang mau pergi keluar bersama seseorang yang lebih sering dengan pacarnya. Jadi kemungkinan ….
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.