EDS29 # Nggak apa-apa

627 98 125
                                    

warning: suicide ⚠️

-

Rumah sakit ramai. Selalu ramai. Dan akan selalu ramai. Banyak orang, banyak suara, tapi akan jadi salah satu suara yang tidak Jero sukai. Suara orang menangis, suara orang panik, suara kesedihan, suara rasa sakit, semuanya berkumpul jadi satu di rumah sakit.

Hal buruk yang selalu tidak ingin Jero rasakan adalah Sanju jatuh sakit dan harus sampai dilarikan ke rumah sakit.

Tapi ini terjadi.

Malam ini semuanya terasa seperti mimpi buruk.

Di ruang intensif itu Sanju berbaring. Selang pernapasan di hidungnya dan infus di tangannya, bahkan elektrokardiogram karena jantung Sanju yang melemah. Terlihat lemah, tapi juga terpejam tenang, tidak peduli Jero memegang tangannya, menciumnya berkali-kali, merapalkan doa, dan menangis di sampingnya.

Ada Renata di sisinya yang menemani sejak tadi, menepuk-tepuk bahunya untuk menenangkan ketika tangis Jero berubah jadi isak menyedihkan.

"Sorry, gue nggak langsung bilang sama lo," ujar Renata saat Jero sudah lebih tenang. "Nek Sanju sendiri yang minta buat nggak ngasih tahu soal ini ke lo." Ia mendesah menyesal. "Tapi kalau tahu bakal kayak gini …, gue pasti bakal ngasih tahu lo. Gue minta maaf, Jer …." Ia menangis.

Jero diam. Menatap lurus ke depan. Ia keluar ruangan, duduk di kursi tunggu depan. Matanya masih merah dan sembab, dan pikirannya jauh melayang, memikirkan apa yang terjadi kalau ia ada di sana ketika anak-anak Sanju yang lain datang untuk menuntut sebuah keadilan, katanya.

Jero berdecih mendengarnya. Keadilan apanya? Mereka—tante dan omnya itu tidak pernah ada ketika ibu mereka dalam kondisi tersulit, kondisi terpuruk, bahkan seperti membuangnya saat Sanju memilih anak bungsunya yang menikah dengan seorang perempuan Jepang yang menurut mereka nggak jelas itu, memilih mengurus Jero sendirian setelah ditinggal papa dan mamanya.

Lalu hari ini, mereka berbondong-bondong datang ke panti—entah tahu dari mana kalau Jero menitipkan Sanju di panti itu di saat mereka berkata sudah tak peduli lagi. Mereka datang setelah tahu bahwa selama ini Sanju ternyata punya sejumlah harta peninggalan sang suami yang semuanya sudah Sanju atur untuk diturunkan pada Jero setelah ia meninggal nanti. Semuanya. Benar-benar semuanya. Bahkan asuransi kematian yang nanti akan cair setelah Sanju pergi, itu juga akan diberikan pada Jero.

Mereka marah, mereka tak terima, menganggap Jero tak pantas mendapatkannya, menuduh Jero yang sengaja mendaftarkan asuransi atas nama Sanju agar bisa menikmati hasil fantastis ketika Sanju sudah pergi nanti. Mereka tak percaya bahwa Jero pun baru tahu hari ini, mereka tak percaya bahwa jangankan bayar asuransi, untuk makan dan bayar kontrakan pun sulit. Dan kenapa pula Sanju merahasiakan hal ini dari Jero? Kalau tahu mereka tidak dalam kondisi sulit, Jero tidak perlu banting-tulang ke sana-sini untuk sekadar meneruskan hidup, dan mungkin ia tidak perlu berada di lubang kerumitan saat ini.

Jero mendesah. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Tak tahu duduk di sana berapa lama, yang jelas tahu-tahu pagi sudah menyapa, orang-orang sudah kembali berlalu-lalang di koridor, Renata pun sudah kembali ke panti setelah menceritakan apa yang terjadi kemarin pada Jero. Dan ketika Jero baru bangkit dari tempat duduknya untuk pergi ke kamar mandi, membasuh wajah, ia melihat Anne, Raida, dan Mbok Suci berjalan menghampirinya.

Jero menahan napas sejenak, ia diam di tempat, melihat Raida dengan jarak yang tak jauh darinya mengulang kembali apa yang terjadi antara ia dan Kaela semalam ketika perempuan itu secara tiba-tiba memintanya untuk menikahinya.

Jero tak terlalu fokus setelah mendapat kabar dari Renata kalau Sanju masuk rumah sakit, pikirannya langsung melayang ke mana-mana. Ia ingin segera berlari menuju rumah sakit, tapi keadaan Kaela yang kacau di hadapannya pun tak bisa ia tinggalkan begitu saja.

Ekspektasi Dua SisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang