Hampir sama seperti kedai makanan Jepang yang pernah Jero kunjungi, yang menawarkan open kitchen di mana kita bisa melihat sang juru masak meracik ramen, menggoreng tempura, menggulung sushi, atau menyajikan makanan dan minuman lainnya.
Kamagawa Resto, berada di pinggir jalan di pusat kota, jaraknya hanya sepuluh menit dengan berjalan kaki dari kantor The Kirei. Bangunan yang tak terlalu luas dengan dua lantai yang begitu Jero melangkah masuk ke dalamnya, nuansa Jepang begitu terasa. Ornamen kayu, pajangan dinding, dan segala hal di dalamnya begitu kental dengan Jepang yang Jero ketahui hanya dengan melihat film atau berkunjung dari restoran nuansa Jepang yang satu ke yang lainnya.
Amaya Kimura berasa dari Jepang, tapi selama hidup sampai Jero berusia delapan, Jero belum pernah ke Jepang. Bahkan dia belum pernah bertemu kakek atau neneknya yang orang Jepang itu. Tidak yakin juga mereka ada.
"Lo tahu Kamakura?" tanya Jero pada Kaela setelah mereka duduk di stool yang menghadap langsung ke dapur tempat pesanan mereka sedang dibuat. Chef Yamamoto, yang bermata sipit dengan kulit putih pucat yang sudah penuh kerutan di mana-mana terlihat begitu asik menyajikan dua ramen pesanan mereka. Kaela benar, juru masak sekaligus pemilik resto adalah orang Jepang asli.
Kaela menoleh, meninggalkan keasyikannya melihat Chef Yamamoto meracik ramen. "Nama restonya Kamagawa. Bukan Kamakura."
Jero terkekeh, dan ia bisa melihat Chef Yamamoto pun ikut tersenyum mendengarnya. "Kamakura, Kanagawa. Itu nama tempat. Kamagawa gabungan dari dua kata itu."
Kening Kaela berkerut. "Dari mana lo tahu? Lo udah pernah ke sini sebelumnya?"
"Di depan ada tulisannya." Jero menoleh pada pajangan dinding yang berisi sebuah tulisan tentang tempat bernama Kamakura. "Kamakura itu nama kota, letaknya di Prefektur Kanagawa. Terkenal sama patung Buddha-nya yang gede."
"Kok lo tahu? Lo pernah ke sana?" tanya Kaela lagi.
Jero mendengus. "Ada tulisannya di depan, Kael. Lo lihat foto patung Buddha di deket pintu masuk? Nah di situ ada tulisannya. Nanti lo baca."
Kaela mengangguk-angguk paham. "Gue nggak pernah baca-baca. Kalau masuk, ya … masuk aja." Dia nyengir. "Tapi gue baca yang profil chefnya itu, ya. Makanya gue bilang sama lo kalau chefnya orang Jepang asli. Satoru Yamamoto," bisiknya.
"Panggil saja Yanto," Chef Yamamoto menyodorkan dua mangkuk ramen pesanan mereka, masih bisa mendengar apa yang Kaela ucapkan di tengah riuh kesibukan dapur dan para pengunjung di jam makan siang. Suaranya berat, tapi lembut. Meski sudah belasan tahun tinggal di Indonesia, aksen Jepang-nya masih terlalu kental.
Mata Kaela membelalak tak percaya. "Kok Yanto? Jadi chefnya bukan orang Jepang asli?"
Jero tertawa, begitu juga Chef Yamamoto.
"Makanya kalau baca sesuatu tuh sampai habis," komentar Jero. "Nama Indo-nya Yanto. Benar, kan, Chef?"
"Betul!"
Kaela mendengus, cemberut, merasa kalah. "Nama bagus-bagus Satoru Yamamoto, malah dikasih nama Yanto," bisik Kaela setelah Chef Yamamoto meninggalkan mereka untuk membuatkan pesanan pelanggan yang lain.
"Mungkin biar lebih gampang diucapin dan lebih familiar di telinga orang Indonesia?" Jero mengangkat bahu sebelum menyeruput kuah ramen pesanannya. Berdasarkan rekomendasi Kaela yang sudah berkali-kali datang, tonkotsu ramen yang katanya paling enak.
Jero akui.
Kuahnya kental, kaldu dari tulang babi yang direbus berjam-jam itu begitu terasa, potongan mi dan kekenyalannya pas, bahkan dari aromanya pun sudah begitu menggoda. Tapi Jero tetap tidak menemukan satu rasa yang selama ini dicarinya dari segala penjuru restoran Jepang yang pernah ia kunjungi. Sebuah rasa yang melengkapi setiap masakan Jepang yang masuk ke dalam mulutnya, yang selalu dimasak Amaya dulu. Jero tak tahu persis itu rasa apa, tapi ia tahu jika masakan yang masuk ke dalam mulutnya selama ini, yang bukan Amaya yang memasaknya, tak pernah ada rasa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.