Di tengah kegiatan Mona memotong rambut Raida dengan begitu hati-hati, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Ada perasaan yang sulit dihilangkan setiap kali hujan turun, yaitu perasaan takut, khawatir, dan resah. Jero selalu merasakan, tidak bisa benar-benar hilang meski hal yang membuatnya seperti itu sudah terjadi belasan tahun lalu, dan apa yang dirasakannya tidak sekuat dulu.
Mona yang sedang merapikan potongan rambut Raida antara yang kanan dan kiri seketika langsung memberikan perhatiannya pada Jero ketika hujan turun dengan jumlah banyak dan besar. Jero menyadarinya, ia langsung tersenyum, memberitahu tanpa kata bahwa ia baik-baik saja.
Dulu, tidak bisa begitu. Setiap kali hujan turun, Jero akan berlari masuk ke kamarnya, menutup diri dengan selimut, menutup rapat-rapat telinganya, kalau perlu ia akan bersembunyi di bawah tempat tidur. Ia ketakutan, tubuhnya menggigil hebat, kepalanya mendadak pusing, dan secara kurang ajar memorinya memutar kembali kenangan ketika sang mama memutuskan untuk pergi.
Tapi perlahan semuanya membaik. Neneknya benar-benar merawat Jero dengan baik. Mengurusnya, memberinya perhatian, memberinya kasih sayang, dan mengobati luka serta traumanya. Sampai belasan tahun terlewati, dan Jero masih bisa berdiri tegak setelah apa yang terjadi padanya di masa lalu.
"Jer, gimana?" Mona memutar kursi yang diduduki Raida, membuka kain penutup badan, menunjukkan potongan rambut baru Raida yang lebih pendek dari sebelumnya, hanya sedikit melewati bahu. Tidak ada model tertentu, hanya potongan lurus dengan poni tipis yang menutupi kening, membuatnya terlihat lebih manis.
Jero berdiri dan langsung tepuk tangan. "Wahhh …, gila! Keren! Lo emang best!"
Mona tersenyum jumawa. "Jangan lupa es cendol!"
"Dingin-dingin gini minum es," balas Jero.
"Eh, ya udah, kita makan sekuteng pulang siaran."
Jero tertawa. "Siap!"
Raida memegangi rambutnya. Kanan dan kiri secara bergantian, lalu poninya. Mona mengatakan ketika dia hendak memotong poni Raida tadi bahwa semalam dia sudah belajar teknik memotong poni ala-ala cewek Korea dari menonton video di YouTube. Dan memang harus diakui bahwa potongan itu tidak gagal. Tidak lagi terlalu pendek seperti yang pernah ia lakukan dulu pada dirinya sendiri.
"Lo cantik, Ra," puji Jero, membuat Raida berhenti memegangi rambutnya. Rambut yang basah lepek karena disemprot air sebelum dipotong itu sudah mengering karena Mona juga bawa hairdryer dan catokan untuk membuat efek volume yang bagus pada potongan rambut baru Raida. Benar-benar terlihat cantik.
Andai saja Raida bisa melihat, dia juga pasti akan memuji dirinya sendiri. Yang sekarang hanya bisa ia lakukan adalah berterima kasih pada Mona, setidaknya Mona menyelamatkannya pada potongan rambut aneh yang Hanif bilang jelek itu.
"Gue foto, ya. Mau kirim ke nyokap lo."
Belum sempat Raida menjawab, suara bidikan kamera ponsel Jero lebih dulu terdengar, dia hanya mendengus pasrah.
"Lagi sibuk kayaknya, belum dibaca," ujar Jero. "Sini, pindah sini. Biar itu diberesin sama Mona." Ia meraih tangan Raida, menuntun perempuan itu untuk ikut duduk di sofa, bersebelahan dengannya.
"Emang kampret ya lu, bukannya bantuin," Mona menggerutu seraya terus menyapu bekas potongan rambut Raida di lantai.
"Gue bantu doa." Jero menakutkan kedua tangannya, lalu memejamkan mata seperti orang yang tengah serius berdua. Dan Mona dengan cepat memukulnya menggunakan sapu. "Sakit, Mon!"
"Bodo amat!"
"Eh, ke siniin tuh cirengnya Rara."
Mona masih sebal, tapi dia tetap menurut untuk mengambilkan cireng isi milik Raida yang baru dimakan satu biji tadi. "Udah dingin, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.