Orangtua pasien mati otak itu membatalkan pendonoran organ dari anaknya yang mati otak karena sebuah kecelakaan mobil. Menganggap bahwa pengangkatan organ dari tubuh anaknya tak lebih dari seperti membunuh anaknya untuk yang kedua kali.
Dokter tak bisa memaksa, siapa pun tak bisa memaksa orangtua itu untuk mendonorkan organ anaknya yang sejatinya bisa menyelamatkan hidup banyak nyawa lainnya.
Salah satunya Raida.
Raidda mungkin masih tetap bisa hidup, tapi mata yang akan didapatkannya itu bisa mengembalikan kehidupannya yang dulu, yang sempat hilang.
Raida ingat ketikaa pertama kali sang papa memberi kabar bahwa ia jadi salah satu orang beruntung yang bisa mendapat donor mata dari seorang pasien mati otak di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Ia menangis. Menangis bahagia. Bahkan saking bahagianya, ia sudah mulai menyusun rencana apa saja yang akan dilakukannya begitu nanti sudah kembali bisa melihat. Ia sudah membayangkan akan sebahagia apa dirinya bisa kembali melihat kamar tidurnya sendiri, bisa kembali membaca buku—bukan mendengar audiobook lagi, bisa pergi menonton film di bioskop, bisa pergi menonton konser penyanyi mana pun, bahkan bisa melihat wajah Jero.
Raida hampir tak bisa tidur sepulang dari rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan dan langsung memberitahu Jero perihal kabar itu. Ia juga masih ingat bagaimana suara bahagia Jero saat mendengar kabar tersebut, mengetahui bahwa bukan hanya dirinya yang ingin ia bisa melihat lagi itu adalah hal yang membahagiakan. Raida tak sabar menanti momen itu.
Hingga hari ini semua daftar rencana itu harus kembali digulung dan disimpan ke tempat semula. Harapan untuk bisa melihat lagi itu sirna. Mimpi untuk melihat dunia dengan kedua matanya itu hancur seketika. Perasaan bahagia menanti sebuah penglihatan itu lebur ketika Raida tak sengaja mencuri dengar percakapan kedua orangtuanya yang memberitahu bahwa ia gagal mendapatkan donor.
Ia pergi ke kamar dengan perasaan yang tak bisa digambarkan, terlalu campur aduk, terlalu sedih, terlalu marah, terlalu kecewa, tapi tak tahu harus meluapkan emosi itu pada siapa, tak tahu harus marah pada siapa, tak tahu harus kecewa pada siapa, tak tahu harus kesal pada siapa, hingga seluruh barang-barangnya yang ada di kamar itu menjadi samsak empuk untuk meluapkan seluruh emosinya.
Raida berteriak, menangis dengan kencang, membanting apa pun yang berhasil iaa pegang dengan tangannya. Tak peduli di luar sana sang mama mulai menangis minta maaf, sang papa memanggil namanya meminta untuk tenang.
Tubuhnya gemetar hebat, kepalanya pusing, ia mual, hatinya tersakiti terlalu banyak, perasaannya tercabik terlalu dalam. Apa yang ia rasakan saat ini persis seperti yang ia rasakan di awal tak bisa melihat. Kekacauan ini pernah terjadi sebelumnya. Dan Raida mengulangnya kembali setelah empat tahun terlewati,
Ia menjambak rambutnya kencang-kencang seraya berteriak, memukul kepalanya seraya menjerit keras, tangisnya pecah berkali-kali. Raida merasa tak sanggup, ia tak kuat lagi, ia akan terus melihat kegelapan selama sisa hidupnya, berteman dengan warna hitam yang memuakkan. Harapan untuk bisa melihat lagi itu seperti lelucon yang sedang menertawakannya, yang membawanya terbang setinggi angkasa, yang kemudian menjatuhkannya tanpa asa.
Raida benci semua orang. Raida benci kehidupan. Ia benci takdir. Ia benci dirinya sendiri. Ia tak pernah tahu harus apa dan bagaimana dalam menjalani harinya. Semuanya adalah kegiatan yang membosankan, yang menyebalkan, yang memuakkan, yang hanya dilakukan orang-orang bodoh dan pemalas.
Raida benci hidupnya sendiri.
“Siapa itu?” ia berteriak ketikaa menyadari seseorang masuk ke kamarnya, mendekat ke arahnya. “Pergi! Pergi dari sini!!”
“Ra, ini gue.” Suara Jero. Suara yang katanya selalu menenangkannya, suara yang katanya terdengar begitu halus dan lembut, suara candu yang selalu ingin Raaida dengar berkali-kali.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.