Jero Emilio yang sekarang duduk di balik kemudi sebuah mobil yang dia jumpai di perjalanannya menuju studio siaran, yang … siapa juga yang menyangka akan jadi sopir dadakan hari ini? Yang dengan tenang mengikuti arus mobil ke sebuah komplek perumahan elit yang langsung ia ketahui hanya dengan sang kakak yang duduk di belakang mengatakannya satu kali.
Kaela duduk dengan tenang di tempatnya, menatap ke arah jalanan, berusaha mengingat-ingat beberapa titik yang dilaluinya sebab ia tidak sepenuhnya percaya pada lelaki yang bahkan tidak diketahui namanya, yang beberapa saat lalu menolongnya mengganti ban mobil yang kempis, dan kini menolongnya untuk sampai ke rumah dengan selamat.
Raida sendiri tidak kelihatan begitu peduli. Sejak mesin mobil menyala dan siap untuk jalan, Raida hanya sekali bertanya siapa yang akan menyetir, lebih tepatnya siapa yang menolongnya untuk cepat sampai rumah ketika Kaela sendiri sibuk menenangkan diri pada traumanya. Setelah itu, setelah mendapat jawaban yang tidak terlalu pasti, Raida langsung menyumpal telinganya dengan earphone.
Jero mendesah. Kaela sempat menceritakan sedikit kendala yang dihadapinya bersama sang adik selain tidak bisa mengganti ban mobil sendiri. Kaela kesulitan membaca peta, ia selalu salah belok, selalu telat paham apa yang dikatakan navigasi sampai akhirnya tersesat di tempat yang tidak mereka ketahui. Dan Raida …, perempuan itu tak bisa melihat.
Ponsel di sakunya bergetar panjang, membuat Jero kembali membuang napas panjang. Tanpa melihatnya, ia sudah tahu siapa yang menelepon. Lima belas menit lagi menuju siaran radio hariannya dimulai, Mona pasti geram karena Jero tak kunjung datang untuk melakukan briefing sebelum siaran, biasanya Jero datang setengah jam sebelum siaran dimulai. Jero mengerti, tapi ia juga agak takut menghadapi perempuan gempal satu itu.
Getarannya berhenti, Jero bisa membuang napas lega sejenak, sebelum akhirnya getaran itu kembali terdengar.
"Ada telepon," Raida bersuara. Ia melepas salah satu earphone-nya. Jujur, getaran itu mengganggunya. Ia bisa mendengarnya dengan jelas sebab earphone di telinganya tak mengeluarkan suara apa pun. Raida tidak mendengarkan audio book, musik, podcast, atau siaran radio seperti biasanya.
Jero menoleh ke samping, lalu melirik ke belakang melalui kaca spion yang menggantung.
"Angkat aja," Kaela berujar.
Tepat saat itu, mobil berhenti karena lampu lalu lintas berganti menjadi merah, Jero menggunakan kesempatan itu untuk merogoh saku celananya dan merogoh tasnya untuk mengambil earphone-nya.
"Jangan telepon sambil nyetir!" seru Raida cukup lantang ketika merasakan mobil kembali melaju sedangkan lelaki di sampingnya tak terdengar mengangkat telepon.
Kaela mencondongkan tubuhnya ke depan, menoleh ke Raida. "Dia pakai airpods, tenang aja," katanya.
Raida tidak membalas apa pun lagi, sementara Kaela tersenyum ke arah Jero, memberi isyarat agar Jero mengangkat panggilan teleponnya—atau lebih tepatnya, menelepon balik karena getaran panjang itu baru saja berhenti. Tapi sebelum melakukan itu, sekilas, Jero melirik ke arah belakang, Kaela terlihat begitu lesu dengan kedua tangan yang dilipat di depan perut. Wajahnya tertekuk sedih, terlihat begitu lelah, padahal ketika pertama kali Jero melihat Kaela, perempuan itu hanya kelihatan panik di belakang mobil yang bannya masih kempis, menggerutu tanpa ampun dengan ponsel yang ditempelkan di telinga.
"Halo, Mon?" Jero sudah kembali menelepon Mona. Ia sudah menyiapkan alasan yang agak gila agar Mona tidak meledakkan amarahnya terlalu besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ekspektasi Dua Sisi
Romance[SELESAI] Kesulitan membedakan kanan dan kiri itu merepotkan. Hanya bisa melihat kegelapan setiap detiknya itu sangat merepotkan.