Ian datang. Minggu santaiku pun tercurah demi mengawasi bocah itu. Oh salah, dia yang sibuk mengawasi diriku. Lupakan mengenai rencana merayu Ronan agar memperbolehkanku memiliki kamar sendiri. Jangankan kamar, memikirkan cara makan kue seminggu tujuh kali pun batal. Ronan benar-benar mengawasi distribusi makanan manis yang masuk ke dalam mulutku! Tidak tanggung-tanggung, dia rela membawaku menemui dokter gigi, kemudian dokter gizi, dan aku ingin mengamuk!
“Ueeeee,” keluhku begitu mengingat daftar makanan sehat yang harus kumakan. Apa itu makanan sehat melebihi lima sempurna? Aku hanya ingin es krim dan cokelat. Bagaimana bisa masa balita dipenuhi larangan dan pantangan?
Seperti Bulbasor kekenyangan, aku tengkurap di atas perut boneka beruang. Kedua tangan mencengkeram bulu-bulu cokelat yang mengingatkanku pada brownies. Hiks aku patah hati. Beri aku kue! Kueeeee!
“Kayla,” Ian memanggil, “sudah lebih dari lima menit kamu pura-pura jadi berang-berang.”
“Aku Kleferi,” ratapku sembari membenamkan wajah ke dalam lautan bulu, “kue-kueku, permenku, semua manisankuuuuuuu!”
Yup beberapa hari lalu Ronan menemukan persembunyian rahasiaku. Semua makanan manis yang berhasil diselundupkan olehku, yang kuambil dari dapur dan kubawa masuk ke kamar Ronan, lantas kusembunyikan di dasar tumpukan pakaian Ronan pun lenyap.
“Itu, kan, hanya kue.”
Aku mendongak, memelototi Ian yang kini berjongkok di depanku. “Kueeeee!”
“Bagaimana kalau kamu pindah ke rumah Kakek,” bujuk Ian. Dia mulai mencolek pipiku dan menampilkan senyum termanis yang bisa kuanggap sebagai “ada udang di balik batu” atau ketika sales mencoba merayu salah satu pembeli agar tertarik pada produk mereka. “Aku akan pastikan kamu bisa makan semua kue, cokelat, dan permen. Bagaimana?”
Pindah? Aku tahu Ian tinggal serumah dengan ayah Ronan, tapi pindah? Aku pindah? Orangtua Ronan memang tidak terlalu dijelaskan dalam novel. Namun, pindah rumah bukan jawaban atas permasalahan kue sekalipun aku tidak keberatan tenggelam dalam kue! Eh tunggu, tenggelam dalam kue sepertinya menyeramkan. Aku tidak mau masuk berita kriminal karena kue.
Eits maksudku tidak ada jaminan tinggal bersama orangtua Ronan akan menjauhkanku dari ancaman Sean.
“Nggak,” aku menolak.
“Ayolah, Kayla. Aku kesepian.”
Oh anak ini. “Papa juga kesepian.”
“Dia ada Asisten Chen.”
‘Bro,’ kataku dalam hati, ‘genre novel yang kumasuki itu bukan yaoi.’
Sebaiknya aku mencari topik pembicaraan baru. “Ian, kenal White dan Hertz?”
Ian mungkin sepantaran dengan mereka berdua, Sean dan Aine. Setidaknya aku bisa membuat rencana awal pencegahan kejatuhan di masa depan. Pokoknya aku akan langsung menyingkir begitu mengendus aroma tokoh utama.
“Kenal?” Aku mencoba turun dari atas perut boneka beruang. Ketika kakiku menjejak karpet terdengar suara TUUUT nyaring. Alias, sepatu yang kini kupakai memang menghasilkan suara yang sepertinya bisa menyaingi lato-lato. Semua ini, sepatu berbunyi tuuuut-tuuuuut-tuuuuut merupakan ide Asisten Chen yang menganggap tema sepatu balita berbunyi sangatlah imut. Cih bilang saja mereka ingin memastikan keberadaanku menggunakan sepatu berisik!
“Sean White?” Ian memastikan. “Aine Hertz?”
Sudah jawab saja, tidak perlu balas pantun! “Wuuuuuu.”
“Kayla, aku cuma pernah bertemu dengan mereka beberapa kali di pesta ulang tahun temanku. Kenapa?”
Ian menyisir rambutku menggunakan jari sebelum memutuskan menghujaniku dengan ciuman di kening dan kepala. Hiiiiis aku bisa bau iler!
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
FantasyBagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...