25. William Lawrence

6.1K 1K 52
                                    

Anjing di hadapanku tidak sungkan memamerkan perut. Barangkali dia ingin satu dua garukan dariku. Andai kami tidak terhalang gerbang, sudah pasti aku akan mengajak Ian memberi limpahan kasih sayang terhadap Awu.

"Dandy!"

Seorang anak cowok berpakaian rapi tergopoh-gopoh mendekati Awu. Dia menunduk, meletakkan kedua tangan di lutut, dan terengah-engah. "Jangan lari sembarangan," katanya di antara berusaha meraup udara dan melampiaskan kejengkelan. (Aku tahu dia jengkel karena wajahnya merah seperti tomat.)

Dandy tidak merespons. Dia memilih rebahan pamer perut. Dasar anjing genit.

"Awuuu," panggilku seraya menjulurkan tangan.

"Kayla, jangan," Ian melarang.

Aku menoleh kepada Pak Satpam dan menyerangnya dengan tatapan melasku. "Boleh keluar?"

Pak Satpam menyentuh dada dengan kedua tangan, mungkin mencoba menghalau seranganku dan berkata, "Maaf, Non. Tuan melarang Nona Kayla dan Tuan Ian keluar."

Siapa aku?! Rapunzel? "Ingin sentuh," ujarku dengan nada memelas.

"Lebih baik kita masuk," Ian memberi saran. "Main game? Nonton film? Kayla, anjingnya galak."

"Hei, Dandy nggak galak!" Cowok yang barangkali usianya lebih muda beberapa tahun dari Dean pun akhirnya menyadari kehadiran kami. "Dia manis dan suka bermain dengan anak kecil lho."

Dean bisa dibilang remaja paling ganteng sejauh pengamatanku. Namun, cowok yang ada di hadapanku ini tidak kalah menawan daripada Dean maupun Felix. Dia memiliki rambut berwarna cokelat tanah, mata hijau lemon, dan sangat menarik. Instingku mengatakan bahwa beberapa tahun ke depan dia akan tumbuh menjadi sosok mengagumkan.

"Halo," katanya memperkenalkan diri, "namaku William Lawrence dan dia Dandy."

Dandy menyalak, sekali. Aku artikan itu sebagai halo.

"Will," sapaku, "aku Kayla dan dia sepupuku, Ian." Wait, William Lawrence? "Lawrence? Apa kamu cucunya Kakek Otto?"

Senyum cerah pun mekar di wajah Will. "Ya," dia membenarkan. "Vila kami tidak jauh dari sini."

Tidak jauh itu bagi kaki orang dewasa, bukan balita. Persis ucapan Felix dulu ketika mengajakku bermain ke suatu tempat: "Dekat kok. Nggak jauh." Ujung-ujungnya aku kehabisan napas dan merengek minta gendong.

"Kayla," Ian memperingatkan, "Om Ronan bilang nggak boleh bicara dengan sembarang orang."

"Dia cucu Kakek Otto!" tegasku menepis keraguan Ian. "Kakek Otto baik."

"Begini saja," Will menyela. "Kamu besok pagi mampir saja ke vilaku bersama papamu. Kita bisa main bersama Dandy."

"Siapa yang mau main ke vilamu?!" Ian mulai sewot. "Kayla, masuk."

"Wuhuuuu," ratapku menangisi perpisahan. Ian tidak mau tahu. Dia langsung menggiringku masuk. Sama sekali tidak mengucapkan salam perpisahan.

"Ian, curaaaang!" tangisku tanpa bisa ditahan. Aku tengkurap di karpet dan memukulkan tinju berkali-kali. "Padahal kamu main berjam-jam bersama Aine pun aku nggak pernah protes!"

"Ka-Kayla, aku nggak main berjam-jam dengan Aine kok." Ian mulai kelimpungan. Dia telah menjejerkan boneka di hadapanku, berharap aku tidak mengamuk tapi gagal. "Ayo kita main bersama, ya? Atau, kita hubungi Aine?"

"Tuh, 'kan?!" seruku menuduh Ian. Aku langsung duduk bersila, bersedekap, dan memamerkan tampang topeng setan terkutuk yang biasa muncul dalam film horor. "Kamu diam-diam menghubungi Aine. Lantas kenapa aku nggak boleh temenan dengan Will? Uaaaaaaaa!"

VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang