32. Balita Butuh Istirahat

5.4K 988 50
                                    

Sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah jadi korban penculikan aku justru tumbang. Sakit. Dimulai dari perut, mual, dan demam. Mau tidak mau Ronan langsung membawaku ke rumah sakit. Aku tidak terlalu sadar dengan keadaan sekitarku selama terkena serangan panas luar biasa selain beberapa kali Ronan cekcok dengan seseorang dan setelah itu hanya ada keheningan.

Tubuh balita ini rapuh sekali. Dulu karena kebanyakan makan ketika bersama Richard di acara reuni pun juga sakit. Sekarang gara-gara telat makan, syok, dan barangkali sawan setelah melihat Madam K di pohon ... lengkaplah penderitaanku.

Aku selalu menangis selama di rumah sakit setiap kali bangun dan sadar tidak ada siapa pun selain penunggu yang cekikikan melihatku. “Buhuuuu Papa!” Tidak elegan. Tidak elite. Tak terhitung sekian kali aku memohon pulang. Siapa juga yang sanggup menghadapi penunggu di kamar rumah sakit? Aku sih ogah!

Hanya ketika dokter menyatakan aku boleh pulang, Ronan mau mendengar permintaanku.

Liburan macam apa ini? Aku bahkan belum sempat menikmati jajan yang kupilih di La Beauty! Ada di mana akses VIP seorang balita? Ronan bahkan memilih pulang ke Metro—mengakhiri liburanku!

Sekalipun demam sudah lama lenyap, tapi tubuhku masih sedikit lemas. Ronan bersedia melemparkan tugas kepada Asisten Chen dan mendedikasikan diri sebagai bapak rumah tangga. Seperti biasa setelah sarapan dia akan menggendong dan mengajakku menengok kolam.

Ikan-ikan masih berenang dengan sehat. Si ikan sapi terlihat paling bersemangat menyambut kedatangan Ronan. Dia berenang dengan gaya anggun, bagai seorang model yang tengah memamerkan lenggak-lenggok tubuh, dan membiarkan penonton mengagumi keindahannya. Aku tidak terlalu bersemangat mengomentari ikan sapi. Kepalaku bersandar di dada papaku, terlalu berat sekadar menyemangati ikan sapi agar melakukan pose pamer ekor.

Ini semua gara-gara penculik sableng! Andai mereka memberiku makan, maka aku tidak akan sampai jatuh sakit. Bahkan di panti pun orang-orang memperlakukan balita jauh lebih baik daripada trio penculik itu. Menyebalkan. Dasar manusia tidak berbudi!

“Mau permen, Kayla?”

Aku tidak menjawab. Tepatnya, kehilangan minat memberi respons. Padahal Ronan sudah membawaku bertemu dokter anak dan mengecek kondisi kesehatanku terkait efek dari mengalami kejadian tidak menyenangkan. Berbeda dengan Ian yang sepertinya mampu beradaptasi dengan kejadian tidak menyenangkan itu, tubuhku justru terkena penyakit kaget (sebutlah apa pun yang cocok mendeskripsikan situasiku).

Sekalipun jiwaku tua, ternyata tubuh anak kecil tetap tidak bisa kupahami. Aku berharap pengalamanku sebagai orang dewasa cukup menamengiku secara mental. Namun, aku salah. Tubuh dan jiwaku perlahan larut dan mengikuti perkembangan mental si balita. Mekanisme pertahanan diriku benar-benar anjlok begitu bersinggungan dengan trio penculik.

“Ueeee,” aku menangis, menangis, dan terus menangis. Aku tidak tahu alasan diriku merasa sangat marah dan kesal bukan main. Ronan sampai kelimpungan melihatku meraung tanpa henti. Hanya ketika aku melihat ikan sapi membuat gelembung di permukaan air, rasa kesalku sedikit mereda.

“Maafkan Papa, ya? Papa janji lain kali kamu nggak akan bertemu orang jahat.”

Ikan sapi berenang di dekat Ronan. Mungkin ingin membantu majikannya merasa lebih baik.

“Kamu mau makan apa, Baby Kayla?” Ronan menawarkan.

“Kueeeeee!”

Aku tidak peduli dengan permen, berikan aku kue. Kue!

Ronan membiarkanku makan sepotong kue. Di dalam kue ada potongan buah ara. Lidahku sempat mati rasa gara-gara obat dan sekarang nafsu makanku sedang tidak baik-baik saja. Padahal seni bertahan hidup menjunjung tinggi peraturan tidak menyiakan makanan. Namun, aku sedang dalam kondisi menyedihkan. Lemas, makan tak enak, dan tidak ingin main.

Sial!

Teman TK-ku pasti menikmati libur dengan semangat menggelora, sementara aku terjebak dalam proses menyembuhkan diri.

Saat kue berhasil kulahap, terdengar dering ponsel milik Ronan. Dia menerima panggilan. Beberapa kali ekspresi di wajahnya berubah-ubah. Aku berani taruhan itu pasti panggilan dari Asisten Chen. Meskipun sedang sibuk, Ronan tetap memilih mengutamakan diriku di atas segalanya.

Di sore hari Bibi Eliza memakaikanku hoodie dengan tudung berbentuk kelinci. Aku suka warnanya: Putih!

Kukira tidak akan ada yang datang berkunjung selain keluarga dan Asisten Chen, tetapi sore ini kami kedatangan tamu.

“Puppy!”

Dandy mengonggong dan langsung berlari mendekati Ronan. Mungkin dia ingin menjilat wajahku, tetapi tidak bisa karena Ronan tengah menggendongku.

Dandy: “...”

Bukan hanya Will, melainkan Otto pun hadir. Yah, tumben Sean tidak ikut.

Ronan mengarahkan Will dan Otto menuju taman belakang. Di sana udara jauh lebih sejuk daripada di teras maupun ruang tamu. Dandy menggonggong di hadapan sejumlah ikan. Sepertinya mereka sedang bertukar salam.

“Puppy, mau gendong?” Will mengajukan diri.

“Mandi dan ganti bajumu,” Ronan menginterverensi. “Baru kamu boleh menyentuh Kayla.”

“Oke,” Will menyanggupi, “kebetulan aku bawa baju cadangan.”

Ronan sepertinya kehilangan kata-kata. Will langsung meluncur pergi, sementara Otto menertawakan kekalahan Ronan.

“Kamu pikir seorang Lawrence akan menyerah begitu saja, huh?” Otto mengamati ikan dan Dandy yang kini telah menjalin hubungan pertemanan. Lihat saja Dandy yang membiarkan salah satu kaki depannya masuk ke kolam. “Dandy, jangan usik mereka!”

Dandy mengaing sedih, lantas kemudian memilih duduk di dekat pot mawar.

“Sean memanfaatkan penemuan Dean dengan sangat cerdas,” Otto mulai bercerita. “Yah tidak seorang pun menduga hal semacam itu akan terjadi. Bagaimana dengan Kayla?”

“Dia masih lesu,” jawab Ronan. Dia memastikan aku duduk dengan nyaman di pangkuannya. Sesekali mengecek diriku yang masih malas berceloteh. “Perut sensitif, telat makan, dan stres. Aku ingin mematahkan kaki mereka bertiga!”

“Ian dan Sean jauh lebih beruntung.”

“Bicara mengenai Sean, bocah itu terlihat terlalu licik untuk seorang anak SD.”

“Dia berbakat,” koreksi Otto, “bukan licik. Jangan sampai kakeknya mendengar ocehanmu. Kamu pasti tidak ingin dia datang ke sini dan menemukan keberadaan putrimu yang menggemaskan, bukan?”

“Mengapa kalian tidak membuat cucu perempuan sendiri dan berhenti menginginkan anak orang lain?” Ronan menyarankan. “Aku yakin White dan Lawrence bisa.”

“Hei, kamu harus bertemu dengan kembaran kakekku. Dia hanya memiliki anak lelaki, cucu lelaki, dan sekarang cicit lelaki. Di surga pasti dia sedang mempertanyakan alasan dirinya tidak memiliki cucu perempuan.”

Aku menguap dan mulai menggosokkan wajah ke baju Ronan. Dandy terlihat bersemangat ingin mengajakku main. Sayangnya aku tidak ingin melakukan kegiatan apa pun selain memperhatikan percakapan antara Ronan dan Otto.

“Papa,” aku memanggil, menjulurkan tangan, dan minta dipeluk.

Ronan memelukku dan membiarkanku mengistirahatkan kepala ke bahunya. Sesekali aku menguap, meneteskan air mata karena kantuk, dan mulai merasa ingin menjadi kucing saja; tidur, mengeong, dan mencakar sofa.

“Papa,” kataku dengan nada suara lemas, “ikan sapi.”

“Ya, Sayang.” Ronan terdengar bersemangat.

“Goreng saja,” aku mengusulkan.

Selesai ditulis pada 25 Maret 2023.

Ikan sapi ingin mengatakan sesuatu.

Ikan Sapi: Beginikah balasanmu kepadaku setelah aku berusaha menghibur papamu?

P.S: Hmm mungkin update episode selanjutnya nanti telat. :”) Nggak apa-apa, ya?

P.S: Hidung sedang kena pilek. Hmm sedikit mengganggu karena pas ngetik bawaannya gatal hidung ini!

P.S: I love you, teman-teman. Kiss. Kiss. Muah. Muah!

VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang