Pertemuan dengan wanita bermarga Krus, marga yang sama dengan ibuku, meninggalkan kesan mendalam. Kesan buruk, sebenarnya, dalam artian membangunkan firasat akan suatu hal. Aku tahu bahwa Daphne telah meninggal. Itu pun berdasar informasi dari novel. Bila ucapan Ronan mengenai perlakuan Krus terhadap Daphne benar, maka bisa dipastikan bahwa kematian ibuku ada sangkut pautnya dengan seluruh atau beberapa anggota keluarga Krus.
Setop. Aku harus berhenti memikirkan mengenai permasalahan orang dewasa. Sebagai balita yang bercita-cita tumbuh tinggi, minimal seratus enam puluh sentimeter, dan mewarisi keseksian Collin; berpikir keras akan memberi dampak negatif bagi perkembangan tubuh.
"Ugyuuuuu," dengusku penuh antisipasi terhadap masa depan.
Sekarang aku hanya perlu menjalani kehidupan sebagaimana keinginanku.
"Kayla, apa yang sedang kamu lakukan?"
Ian ikut duduk bersimpuh di sampingku. Minggu. Seperti biasa Ian akan mampir dan menemaniku main. Bedanya hari ini tidak ditemani Ronan, melainkan Richard. Kakek yang satu itu sibuk pamer mengenai betapa menggemaskan memiliki cucu. Lupa bahwa salah satu cucunya berniat membangun Benteng Takeshi dari pasir. Hahahaha. Boleh dong? Kan, jarang bisa main di kolam pasir. Ronan tidak mungkin membiarkanku mengeksplorasi asyiknya membentuk sesuatu dari pasir.
AND NOW FINALLY! Kesempatan emas. Aku bisa membentuk benteng!
"Kamu mau buat gunung?" Ian menunjuk gumpalan pasir sebesar bola sepak yang sedari tadi kutepuk-tepuk. "Oke, aku bantu."
Kemudian secara resmi kami berdua bahu-membahu menebalkan benteng-yang-tidak-mirip-benteng dengan segenap kekuatan. Sesekali ada orang yang mampir, mendekat, kemudian bertanya ini itu kepada kami. Jangan cemas mengenai kemungkinan sindikat penculik. Sebab di kompleks yang dipilih Ronan sebagai hunian terkenal elite (kata Asisten Chen, bukan aku) dan aman. Orang yang bisa tinggal di sini pasti BERUANG!
"Kakek!" panggilku dengan suara lantang (yang ternyata mirip lonceng alias C-E-M-P-R-E-N-G hua hua hua). "Sini! Sini!"
"Iya, Sayang." Richard mengabaikan nenek-nenek yang sepertinya berniat caper dan langsung menghampiri kami. "Wah kalian akan membuat gunung?"
Richard berjongkok, mulai membersihkan pasir yang menempel di wajahku.
"Benteng," jawabku.
"Oh, ya, ya," Richard menyambung, "benteng yang seperti gunung."
Ian: "..."
Setelah bosan membuat benteng yang makin mirip perut Doraemon, aku putuskan mencari tempat yang lebih teduh sebab matahari mulai merangkak naik. Hehe tentu saja tempat yang kupilih ialah di bawah naungan pohon jeruk. Dulu Ronan menolak permintaanku, mungkin dengan Richard aku lebih beruntung.
"Kayla, Kakek tidak suka memanjat," Richard mengeluh. "Lagi pula, kita tidak bisa sembarangan memanjat pohon sekalipun buahnya ranum. Bagaimana kalau jatuh? Bisa-bisa patah kaki atau tangan? Ian dan Kakek tidak bisa memanjat pohon."
Jeruuuuk! Tidakkah mereka melihat betapa rimbun buah yang bergerombol dalam setiap tangkai? Bahkan beberapa butir jeruk berjatuhan di tanah, tapi tidak ada satu pun berniat memungut. Sekalinya aku ambil satu, Ian langsung menepis tanganku dan memberi peringatan mengenai bahaya makan sembarangan.
"Buhuuuu jeruk," tangisku ketika Richard memutuskan menyudahi acara main.
Pohon jeruk seolah melambaikan salah satu ranting, berkata kepadaku: "Sampai jumpa, Baby Kayla." Bukan hanya itu saja, pohon jeruk bahkan secara terang-terangan memamerkan buahnya kepadaku!
Padahal di kehidupan asalku anak-anak bebas memetik asam, jambu, maupun mangga. Orang-orang ini tidak tahu betapa nikmat makan buah langsung dari pohonnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
FantasyBagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...