Jajanku!
Sekali lagi kutegaskan, dengan semangat seorang balita berbudi luhur, jajanku!
Mohon maaf, aku masih ingat semua pesanan yang kuinginkan di La Beauty sebelum mobil penculik menghantam kaca dan menjauhkan diriku dari cintaku. Hanya tinggal beberapa langkah saja semua makanan itu bisa kunikmati.
“Will!” teriakku dengan nada suara melengking khas anak kecil putus asa.
“Baby,” Ronan memperingatkan, “kamu sebaiknya istirahat dan biarkan mereka berdua bermain.”
Dandy menggonggong. Dia berusaha menarik perhatian Ronan dengan cara pamer ekspresi lucu; lidah terjulur, sepasang mata indah yang seperti mengharap kasih sayangmu, dan diikuti dengan kibasan ekor. Aneh sekali Dandy. Padahal Ronan tidak pernah tertarik menghabiskan waktu dengan Dandy, tapi dia selalu saja berusaha mencari perhatian papaku.
“Uuuuhuuu Dandy,” aku mengalihkan perhatian Ronan dari Will kepada Dandy. “Mau main. Main! Ya? Ya? Papa!”
Mau tidak mau Ronan akhirnya membiarkanku turun. Dandy langsung menjilati wajahku tanpa ampun hingga aku tumbang. Untung Ronan sigap menyokongku, menghalangi kepalaku dari kemungkinan terbentur.
“Uuuuu sudah,” aku berusaha menghentikan aksi Dandy. Setelah berhasil membebaskan diri dari serangan Dandy, aku langsung berlari menghampiri Will. “Will!”
Ahaha pada akhirnya kami bertiga bisa bersama. Ronan membiarkan kami—aku, Will, dan Sean—menghabiskan waktu di ruang bermain. Dandy tidak ikut karena Ronan melarang. Dia takut Dandy akan lepas kendali dan membuatku terantuk atau jatuh. Mau tidak mau Dandy harus pasrah ketika dibawa menjauh dan bergabung dengan Bibi Eliza.
“Puppy, apa kamu merindukanku?”
Will terlihat senang bukan main. Dia menggendongku seolah aku boneka gembul yang enak dijadikan sebagai penghangat dadakan. Kurang ajar! Kedua tanganku berusaha menghalangi aksi Will yang terus saja menghujaniku dengan ciuman. Dia dan Ian sama saja! Setiap ada kesempatan pasti begitu!
“Kamar bermain yang cukup menggemaskan,” Sean memuji. Dia mengedarkan pandang, memperhatikan sekeliling; rak berisi mainan dan boneka, kotak kayu yang kugunakan menyimpan berbagai temuan luar biasa ketika jalan-jalan di taman, rumah boneka yang tidak pernah kusentuh karena minat bermainku sebatas membangun benteng tiga lapis ala pejuang pelenyap titan, dan beberapa lukisan boneka dan poster yang digantung di dinding.
Sean menunduk, meraih boneka mungil berbentuk kepala babi sebesar genggaman tangan. “Wah lucu.”
“Itu dari Petra!” sahutku riang. “Dia bilang babi lucu. Anak babi lucu. Pink! Will, jangan cium! Berhenti cium! Nakal! Nakal!”
Setelah puas mendorong wajah Will yang kini memiliki bekas telapak tanganku, aku memelototi Sean.
“Apa?” tanya Sean dengan ekspresi tidak bersalah.
Sean White. Dalam cerita asli seharusnya dia mulai membina hubungan istimewa dengan Aine. Namun, sejauh ini perjalanan mereka belum menunjukkan tanda-tanda akan mengarah ke sesuatu yang istimewa. Justru Aine cerita kalau dia memiliki teman istimewa, seorang bocah lelaki, di kelasnya.
Hmm kupikir Ian atau Sean yang akan mendapat posisi istimewa sebagai cinta pertama Aine, ternyata aku salah.
“Puppy, berhenti memelototi Sean. Dia tidak akan berubah menjadi tampan dan menarik.”
Ketika aku lengah, Will kembali mendaratkan ciuman di pipiku! “Aaaaah, Will!” teriakku, putus asa. “Jangan cium! Jangan cium!”
‘Tanpa jajan dari La Beauty jangan harap, ya!’
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
FantasyBagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...