Satu-satunya suaka manis hanyalah sekolah. Catatan, hanya berlaku di TK dan sejenisnya. Aku tidak ingat pengalaman semasa balita di kehidupan sebelumnya. Barangkali jauh berbeda dengan di sini. Contoh, teman-temanku kadang membawa kue maupun biskuit buatan mama mereka. Dengan bangga mereka akan membagikannya sembari sesumbar: “Mamaku cantik dan hebat! Dia bisa membuat kue seenak ini. Kalian pasti iri. Iri!”
Dasar bocah. Padahal aku tidak iri mengenai orangtua mereka. Adapun yang membuatku iri hanyalah kuantitas kudapan manis yang bisa mereka peroleh tanpa filter superketat.
Huh berhubung ada kesempatan makan kue, ocehan pamer pun sekadar masuk telinga kanan keluar telinga kiri wiiiiiiiiing. Aku akan bilang, “Ugyuuuu keren. Boleh tambah?”
Lantas anak yang bersangkutan pun makin merasa di atas angin. Persis sales profesional, dia memberi promosi keren sembari menambah satu dua biskuit untukku.
Aku seperti pekerja kapitalis dengan kemampuan menjilat yang kredibilitasnya tidak perlu dipertanyakan oleh siapa pun. Dengan senang hati akan kupuji anak mana pun yang membagi kue maupun kudapan.
“Huuuu mamamu keren.”
“Oke. Aku iri dengan mamamu.”
“Aku ingin bisa makan kue seperti ini.”
“Ugyuuuuu boleh tukar mamamu dengan Asisten Chen?”
... untuk yang terakhir itu, menukar Asisten Chen dengan mama jago masak, proposalku ditolak secara aklamasi.
Awalnya aku mengira kegiatan bawah tanah mengonsumsi kue akan aman. Ternyata Nona Yaya menginformasikan kegiatan ilegalku kepada Ronan. Aksiku pun terendus.
“Kayla....”
No. Aku tidak bersalah. Ini murni insting bertahan hidup seorang balita. Ronan TIDAK BOLEH menyalahkanku.
Akan tetapi, realitas memang keras. Aku yang mungil dan kerdil ini terpojok di hadapan Ronan. Padahal dia hanya duduk di sofa, tersenyum manis, seolah segelintir politikus memilih lelaki ini sebagai model majalah bergensi penarik pengikut.
“Berapa banyak yang mereka berikan kepadamu, Baby Kayla?”
Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Berkali-kali menggelengkan kepala. “Nggak. Nggak. Nggak. Nggak!”
“Kamu tahu, ‘kan? Gula tidak baik bagi kesehatan.”
Bila dikonsumsi dalam jumlah berlebihan! “Ugyuuuu,” senandungku mencoba mengalihkan perhatian Ronan dari sesi interogasi.
“Sepertinya kita harus mengunjungi dokter gigi,” Ronan mengusulkan. “Jangan sampai kamu kena gigi berlubang dan....”
Pandangan Ronan jatuh ke sepasang tanganku yang makin mirip bolu gulung.
“Ke dokter gizi,” ia melanjutkan. “Papa perlu konsultasi mengenai perubahan menu makan.”
AKU YAKIN DIA SEDANG MENGATAI BERAT BADANKU! Apa salahnya aku punya lemak di lengan dan perut? Toh masih di ambang batas wajar! Kecuali bila aku obesitas. Meskipun hobiku makan, tapi olahraga pun tetap kulakukan. Mereka saja yang hobi menggendongku! Lagi pula, gumpalan menggemaskan di lengan, paha, dan perutku ini pun dimiliki semua balita lima tahun! Aku normal. Sebab aku meyakini suatu saat ketika berhasil mendapatkan tinggi seratus enam puluh sentimeter, maka semua gumpalan menggemaskan ini akan berubah jadi tubuh seksi. Huhuhu aku tidak sabar mengikuti jejak Katty Perry, Kajol, atau mungkin Erza Scarlet!
Keseksian hakiki! Tunggu aku!
“Ayo kita pergi ke dokter gigi terlebih dahulu.” Ronan bangkit, mendekat, tapi aku memilih kabur.
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
FantasyBagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...