36. Pada Akhirnya....

6.3K 758 5
                                    

Richard menuntut sepulang sekolah Ronan wajib membawaku ke rumahnya. Aku sih oke-oke saja. Serius! Terserah mereka mau mengajakku untuk mendeklarasikan puisi epik atau menceritakan dongeng. Aku siap!

Sampai di rumah Richard, aku tidak menemukan keberadaan Ian. Mungkin dia masih terjebak di sekolah. Konon Ian termasuk salah satu siswa incaran sekolah. Yang artinya: Dia termasuk golongan anak berbakat yang akan dimintai tolong oleh sekolah untuk ikut perlombaan ini dan itu demi nama baik sekaligus akreditasi. Tahulah? Selamat berjuang, Wahai Pejuang Muda.

Menu makan siang yang Richard pilih sangat sesuai dengan selera makan balitaku. Ayam bumbu kecap yang dagingnya dipotong kecil-kecil. Nasi hangat yang wangi. Tumisan sayur yang terdiri dari jagung muda, bunga kol, wortel, kubis, dan sedikit tambahan beberapa potong cabai. Telur orak-arik dengan tambahan sayuran bayam. Udang goreng. Oh aku ingin makan semuanya! Semua milikku! Milikku! Balita ini menyatakan kepemilikan terhadap seluruh makanan yang ada di meja!

“Ugyuuuu ayam,” ujarku dengan suara riang. Duduk manis di kursi khusus balitaku, aku siap menandaskan semua masakan siang ini. “Papa, aku mau udang!”

“Ya, Baby,” Ronan menyanggupi, “makan sayurnya juga, ya?”

Ronan meletakkan ayam dan sayuran di piringku. Uap nasi membumbung ke hidung, menggelitik perutku yang mulai bernyanyi, “Kruyuuuuk ... yuk ... yuk!”

Mendengar suara nyanyian perutku, Richard pun tertawa. “Ya. Benar sekali. Baby Kayla harus banyak makan.”

Cih mereka membiarkanku mengonsumsi sayuran sepuas kehendak perut. Namun, lain cerita bila yang kuincar permen, kue, biskuit, bahkan roti tawar! Ujung-ujungnya Ronan memberiku biskuit sehat. Tahu, ‘kan? Biskuit yang dibuat dari campuran sayuran. Ingin mengamuk saja ah!

Usai bersantap kedua mataku makin berat. Ronan menggendongku dan mengajakku pindah, tapi aku menolak ditinggalkan tidur seorang diri di ranjang. Di rumah Ronan saja penunggunya genit, apalagi di rumah Richard? Aku tidak mau bertaruh dengan keberuntungan.

Mohon maaf, balita yang satu ini lelah berhadapan dengan segala jenis makhluk halus—terutama yang genit.

Untung Ronan tidak menolak dan membiarkanku menempel terus kepadanya mirip koala. Bahkan ketika mereka berdua, Ronan dan Richard, berderap menuju ruang kerja pun keberadaan balita sepertiku tidak membuat mereka merasa terganggu.

“Apa kamu sudah mendengar kabar mengenai pengusiran Nyonya Besar?”

Ronan duduk di sofa, memastikanku tidur nyaman dalam pangkuannya. “Tidak,” jawabnya, “dan aku tidak peduli dengan keputusan orangtua Daphne.”

“Rubah Tua itu mengirim istrinya ke tempat terpencil,” Richard menjelaskan. “Sepertinya dia ingin mengisolasi wanita itu dari Krus. Putra kesayangan sudah kamu singkirkan taring dan kukunya, sementara anak yang lain menganggap ibu mereka pilih kasih. Tidak mengherankan bila semua anak yang masih bertahan di sana tidak berniat menarik keluar ibu mereka dari sarang penderitaan.”

“Tetap tidak sebanding dengan penderitaan Daphne.”

“Ronan, Daphne merupakan momok bagi wanita itu. Rubah Tua jatuh hati kepada wanita dari kalangan bawah. Malang bagi ibu kandung Daphne yang mati akibat kecemburuan istri Rubah Tua.”

“Seharusnya dia bisa melindungi Daphne,” Ronan menuduh. “Jauh lebih baik daripada yang bisa ia lakukan sekarang.”

“Ya,” Richard membenarkan, “Kayla tetap harus ada bersama kita. Dia tidak butuh Krus. Di sini adalah rumahnya, bukan Krus.”

Rumah bagiku tidak hanya bangunan beratap yang menghalangi panas serta hujan menyakiti tubuh. Rumah merupakan tempat yang di sana terdiri dari orang-orang yang senang dan bisa membuatku berani mencintai diriku dan orang lain.

VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang