Tidak ada kata apa pun yang bisa mewakili perasaanku menjadi anak normal selain satu kata: Kelegaan. Di panti tentu saja menyenangkan. Di sana aku mendapat perlakuan setara, sama seperti anak lainnya, tidak ada istimewa. Beda cerita dengan pengalaman hidup milikku yang pertama. Orang dewasa melabeliku sebagai biang onar, tukang makan, tidak menghormati orang tua, serakah, dan entah sederet ucapan jahat apa lagi yang mereka—orang dewasa—timpakan kepadaku.
Barangkali karena kemiskinan hingga pola pikir orang jadi melenceng jauh dari kebajikan. Bisa saja akibat keindahan yang tidak kumiliki sampai membuat orang muak saat melihatku. Oh aku bisa menduga beberapa hal, tapi tidak sanggup menemukan satu saja hal yang bisa membuatku merasa lebih baik ketika menjabarkan definisi mengenai “aku” yang dulu.
Hidupku sangatlah tidak elok. Walaupun aku memiliki segala kesempurnaan visual sebagai manusia, tapi orang tetap saja enggan, bahkan, jijik begitu bersinggungan denganku. Mereka menganggap diriku tidak layak bergabung dalam kelompok persahabatan maupun kegiatan bermasyarakat. Karangtaruna? Lupakan. Aku ini tidak akan dipandang oleh mereka—masyarakat. Pasti si A, atau B, atau C. Selalu itu.
Dari dasar hati terdalam aku nyatakan bahwa tidak masalah sekalipun aku tidak ikut pesta tujuh belasan, tidak diajak ikut lomba apa pun dalam pesta rakyat, ataupun dijadikan pagar ayu saat pernikahan. Hei, tidak apa-apa. Sebab aku telah menemukan hal-hal lain yang bisa melipur kesepian dalam diriku. Makanan, buku, film yaaaah ada banyak hal termasuk berkebun. Aku selalu tahu cara mengalihkan rasa sakit hati maupun keterasingan.
Haaa barangkali itulah yang menyebabkanku selalu membanjiri orang-orang yang kuanggap bagian dari hidupku yang sempit ini dengan hadiah. Aku ingin menunjukan rasa syukur dalam wujud benda agar mereka—orang yang kuhadiahi—tahu bahwa eksistensi mereka sangat penting bagiku.
Sekarang aku memiliki segala yang kubutuhkan. Orangtua, teman, dan keyakinan terhadap diri sendiri.
Terlahir sebagai Kayla Collin benar-benar mengubah jejak masa kelam dalam diriku, membuatku mekar kembali, dan mungkin tumbuh menjadi tunas nan hijau.
Bila dipikir lagi kematianku tidak terlalu menyedihkan. Berkat itu aku bisa bertemu dengan Ronan.
Itu sudah lebih dari cukup.
***
“Papa!” Aku menjulurkan tangan, memasang ekspresi manis, dan berharap pelukan.
Ronan tidak mengatakan apa pun. Dia hanya tersenyum dan meraihku.
Siang ini Bibi Eliza mendandaniku dengan pakaian yang cukup mengesalkan bagi balita. Celana pendek dengan hiasan ekor bulat ala kelinci. Maksudku, ekor sungguhan yang menyerupai milik kelinci tepat di bagian pantat! Atasan lengan panjang dengan tambahan tudung yang dihiasi sepasang telinga kelinci. Oke, aku sedang melakukan cosplay anak kelinci putih.
Papaku? Dia tidak mengenakan pakaian aneh! Hanya mengenakan jins dan kemeja lengan pendek. Begitu saja sudah mampu membuat cewek mana pun meneteskan liur.
Seharusnya Ronan se-pen-de-ri-ta-an denganku. Dia bisa pakai kostum papa kelinci. Namun, hmmm lupakan. Aku tidak yakin ide papa dan bayi kelinci cukup bagus di mata cewek. Bisa-bisa pamor papaku turun, jatuh!
“Kita akan bertemu seseorang, Kayla.”
“Calon jodohku?” tanyaku pura-pura imut.
Sontak ekspresi di wajah Ronan pun berubah kecut. Benar-benar mirip orang makan lemon. “Baby,” katanya sembari mencubit pipiku, “nggak boleh makan kue.”
Padahal aku hanya melontarkan candaan saja, tidak serius ingin menemui calon jodohku.
***
Ternyata orang yang kami temui itu adalah ayah Ronan, kakekku!
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
FantasyBagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...