Sekalipun aku tidak meraung, air mata tetap berderai. Salah satu alasan penyebab mataku perih dan sakit yakni, aroma rokok dan asap. Pria yang memiliki bekas luka di bibir menyalakan pematik, membakar ujung rokok, dan mengembuskannya secara sembarangan. Tidak peduli terhadap ketiga anak kecil yang sebenarnya rentan terhadap racun nikotin.
“Payah kamu!”
Pria botak tertawa ketika memperhatikan ekspresi masamku. Dia sedikit menurunkan jendela, membiarkan udara segar masuk dan menggantikan aroma tidak sedap keluar dari dalam mobil.
“Heh bocah banci,” kata si pria botak. “Pasti di masa depan kamu nggak bisa apa-apa tanpa bantuan orangtuamu.”
Rekannya terkekeh, menganggap olok-olokkan yang ditujukan kepada Sean amatlah lucu. Bukan hanya menertawakan Sean, si pria dengan bekas luka di bibir pun berani mengembuskan asap rokok di depan wajah Sean!
RIP. Pria itu akan menjadi salah satu orang yang berharap tidak akan memperlakukan Sean White secara kurang ajar. Apa dia tidak sadar? Apabila anak kecil berada dalam posisi kami—diculik, jauh dari perlindungan orangtua, dan diancam akan dijual ke kelompok pedho—maka, sudah pasti mereka akan menangis dan memohon ampun.
Akan tetapi, Sean White tidak seperti itu. Dia terlalu tenang. Duduk di sampingku dengan ekspresi yang tidak seorang pun bisa tebak. Hanya sepasang mata yang menampilkan kilatan kebencian, tapi tidak ditangkap oleh para penculik. Dia membiarkan asap rokok menerpa kulitnya yang mulus. Bagiku dia terlihat seperti seekor predator yang tengah menyembunyikan taring dan cakar—berpura-pura lemah, padahal tengah menunggu kesempatan mencabik mangsa.
“Pelanggan besar pasti suka bocah sepertimu, huh?” Si pria dengan bekas luka di bibir menyeringai. “Kamu tahu apa yang mereka akan lakukan kepada bocah cantik sepertimu?”
“Main sampai puas,” sahut si sopir sambil terbahak.
Ada pepatah mengenai mulutmu harimaumu. Ketiga orang ini secara resmi telah mendaftarkan diri sebagai korban. Betapa dungu seseorang yang tidak bisa membaca perubahan suasana seseorang. Apa otot terlalu dominan dalam diri ketiga pria ini sampai otak berhenti melakukan kerja secara semestinya?
“Dan kamu,” tunjuk si botak kepadaku. “Mungkin bisa dijual ke rumah bordil.”
Aku merapatkan diri kepada Ian. Sungguh hebat tubuh sekecil itu, tubuh milik Ian, mampu menyembunyikan emosi. Jantung Ian berdegup kencang, entah oleh amarah atau ketakutan. Aku bisa mendengarnya di sela derum mesin dan tawa ketiga lelaki binal tidak tahu diri.
“Ian....”
Ian tidak mengatakan apa pun. Dia memilih melindungiku dari tatapan jahat. Betapa menyedihkan. Ian telah kehilangan kedua orangtuanya karena siasat jahat. Lalu, kini harus mengalami penculikan.
Andai saja aku pindah ke sini dengan sedikit subsidi kemampuan bela diri, pasti tidak akan mengalami hal buruk. Setidaknya aku bisa melindungi keluargaku. Mengapa aku tidak memiliki kemampuan listrik seperti Kayden? Pasti asyik bisa membuat ketiga lelaki berpikiran kotor ini merasakan nikmat menjadi orang tidak berdaya.
“Siapa yang mempekerjakanmu?” tanya Sean dengan suara dingin.
“Bocah, nggak usah sok dewasa!” Si botak terkekeh. Dia memukul kedua pahanya seolah pertanyaan Sean terdengar amat konyol hingga pantas diganjar dengan tawa. “Salah satu di antara kalian akan hidup enak, sementara sisanya akan membuat kami hidup enak!”
“Yakin tidak ingin menyeberang ke oposisi?” Sean menawarkan.
“Cih, kamu pikir kami bodoh? Kalian pasti mengira om-om di sini cuma kaum oportunis yang enggak bisa membaca situasi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
خيال (فانتازيا)Bagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...