10. Ketidakuntungan Jadi Balita

11K 1.5K 27
                                    

Menjemput Ian terasa menyenangkan. Aku jadi bisa mengenal lebih banyak terkait kehidupan di dunia Kayla. Sekalipun budaya di sini—di dunia Kayla—tidak terlalu berbeda jauh dengan kehidupan modern tempatku berasal, tapi tidak menjamin diriku sukses beradaptasi tanpa cemas kemungkinan tersesat atau kena tipu (segala hal buruk membuatku resah. Tahu, ‘kan? Sedia payung sebelum hujan). Perlu perubahan. Ronan sama sekali tidak mengizinkanku bermain di luar rumah. Padahal aku perlu mengenal tetangga dan kebiasaan masyarakat sekitar. Di panti pun mainku terbatas bila diajak Dean atau Felix. Itu pun diam-diam, alias ilegal. Dengan kata lain aku superduperanakrumahan! Lebah Hachi saja berani mengarungi dunia demi menemukan ibunya sementara aku terjebak di sini!

Oh lupakan mengenai keluhan. Sekarang aku tengah berdiri di samping mobil, ditemani sopir dan Richard. Kami dengan sabar menantikan Ian keluar, melewati gerbang sekolah, dan lekas menyambut kejutan!

Seragam SD tempat Ian belajar tidak berwarna merah putih! Desain pakaian pun menurutku unyu dan menarik. Celana panjang motif kotak-kotak, sepatu berwarna gelap, rompi, dasi merah, kemeja lengan panjang berwarna biru muda, dan ransel yang mengingatkanku pada dorama sekolah. Beberapa kali ada anak-anak yang mencuri pandang ke arahku. Tidak ada tatapan buruk di mata mereka. Hanya keingintahuan yang mungkin dibumbui sedikit perasaan gemas. Berani taruhan, mereka pasti ingin bermain denganku!

Haih aku sudah biasa mendapat sorotan semacam itu. Di panti aku sering menjadi incaran anak-anak lain; entah mereka ingin mencubit pipi, memeluk, bahkan ada pula yang menculikku ke kamar mereka—dan pelakunya pasti Felix. Dengan kata lain, aku terkenal! Cih, andai saja ada yang bersedia menemaniku bermain “membangun tembok tiga lapis dan memusnahkan titan”, maka aku akan merasa sedikit lebih baik.

“Kakek!”

Tidak lama kemudian Ian muncul. Dia menyandang ransel dan pipinya terlihat kemerahan. Begitu melihatku, dia langsung menyerbu dan menghujaniku dengan ciuman.

Argh iler! Iler! Pipiku kena iler!’

“Kayla, aku rinduuuuuuuuu!” seru Ian sembari bermain dengan pipiku. “Kakek, apa sekarang Kayla tinggal bersama kita?”

“Hmmm idemu bagus juga,” ujar Richard.

Mereka berdua tidak mungkin bisa memisahkan diriku dengan pelampung keselamatan—Ronan.

Sebab aku menolak keras!

“Papaaaaaaa!” raungku seraya berjuang menghindar dari pelukan Ian. “Mau dengan Papa!”

“Kalau begitu Kakek akan menyuruh papamu pindah.”

Cara pikir kakekku sedikit meresahkan.

***

Kami mengunjungi restoran yang ternyata menu makanannya memang dikhususkan untuk anak-anak. Aku sih inginnya es krim atau cokelat, ternyata bukan! Restoran tersebut menyajikan menu sehat olahan organik. Mi bayam, kue wortel, bahkan jus buah yang dimodifikasi dengan beberapa tambahan sayuran. Kami makan dengan tenang sembari sesekali Ian berceloteh mengenai kegiatan sekolah.

Aku tidak tahu sistem pengajaran di dunia ini. Mungkin sedikit banyak akan mirip dengan dunia asalku. Dari informasi yang berhasil kuperoleh melalui mendengarkan percakapan antara Dean dan Felix, pendidikan di sini—di dunia Kayla—tampaknya jauh lebih maju. Bagaimana aku bisa tahu? Hei, perpustakaan di pantiku saja menawarkan bermacam buku yang bisa dinikmati oleh penghuni. Oh jangan lupakan perawat yang merangkap sebagai pengajar bagi kami, balita imut nan menggemaskan, melalui permainan. 

Hehe aku sih pura-pura tidak bisa membaca dan berhitung. Takutnya perawat akan menganggapku sebagai anak jenius. Padahal kemampuanku biasa saja. Berikan rumus kimia dan fisika, pasti tidak bisa kuselesaikan.

VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang