Note: Ini bonus cerita untuk kalian, teman-teman. Beginilah kira-kira kejadian antara Kayla dan Sean.
***
Arena permainan yang baru saja didirikan di salah satu pusat perbelanjaan mengusung tema musim dingin. Bayangkan mengenai salju abadi? Tidak ada habis-habisnya? Aku bisa bermain sepuasku dengan salju. Sebagai manusia yang sempat mencicipi negara tropis yang hanya menyajikan dua musim; kemarau dan hujan; tawaran mengenai main salju sesuka hati amat mendebarkan.
Terima kasih kuucapkan kepada Asisten Chen yang berbaik hati mengabarkan perihal arena tersebut. Mau tidak mau aku pun merengek kepada Ronan dan menuntut diantar ke sana. Yah sekalipun sempat terjadi insiden, yang tidak ada hubungannya dengan kesalahanku, di arena bermain ... emmm. Oke, itu salah Petra dan Aine. Mereka berdua yang salah, bukan aku.
Aku?
Idih aku hanya ingin main saja. Petra dan Aine yang berlebihan. Mereka terlalu bersemangat memamerkan dominasi anak-anak. Seolah aku mau saja ikut mereka. Padahal cita-citaku, kan, menjadi pengangguran makmur dengan deposito gemuk di bank.
Kesimpulannya: Ronan sempat waswas mengamini permintaanku main ke arena tersebut. Takut andai ada bocah edan yang bermaksud menculikku. Itu saja.
Untungnya, UNTUNGNYA sih, di arena bermain yang mendapat promosi dari Asisten Chen sangat aman. Semua anak sibuk main lempar bola salju, berseluncur, foto-foto di hadapan badut (aneh sekali ada badut di tempat seperti itu), dan isinya mayoritas pasangan muda-mudi memadu kasih.
Ronan memastikan aku mengenakan pakaian tebal. Jaket berbulu dengan tudung berhias telinga kelinci, putih pula. Sepatu bot. Sepasang sarung tangan. Celana panjang. Hmm aku siap menghadapi apa pun.
Di atas kami hanya ada langit-langit yang dimodifikasi agar menyerupai langit pada musim dingin. Sekalipun di dalam ruangan, tidak akan ada orang yang merasa tengah berada dalam mal karena segala macam hal yang berhubungan dengan musim dingin ditata sedemikian rupa. Musik ceria menjadi latar belakang. Sempurna.
“Ugyuuuu uaaaa bola raksasa,” ucapku seraya berusaha membuat bola salju. Rencananya akan kujadikan sebagai kepala manusia salju. “Papa, bola!”
“Baby, hati-hati.”
Aku mendedikasikan seluruh fokus kepada mahakarya. Tidak sadar bahwa bolaku menggelinding menuju sesosok bocah lelaki yang membuatku ingin mengajukan diri sebagai penguasa dunia. Jaga-jaga andai dia mengacaukan hidup santai makmur bergelimang hartaku.
“Puppy, ya?”
Sean White. Tidak ada nada tulus, yang biasa Will gunakan kepadaku, ketika mengucapkan Puppy. Yang satu ini lebih seperti mencemoon alih-alih menyemangatiku.
Oleh karena itu, aku pun memutuskan mengabaikan Sean dan mendorong bola salju ke arah lain. Di belakangku Ronan yang seharusnya mengekoriku pun dialihkan perhatiannya oleh lelaki asing. Barangkali dia adalah ayah Sean.
“Puppy, mau membuat planet baru?” tanya Sean yang kini menempeliku seperti kutu. Bikin gatal! “Atau, berusaha membuat kepala monster?”
Anak ini.... Mungkin bila kudorong tidak akan ada orang dewasa yang menyalahkanku.
Kakiku capek. Maka, kuputuskan berhenti sejenak dan menepuk-nepuk permukaan bola.
Di sekitarku ada orang-orang yang tadinya sibuk dengan kegiatan masing-masing pun mengalihkan pandang kepadaku.
“Waaa ada kelinci salju. Manisnya.”
“Lihat, pipinya merah. Pasti dia kelelahan menggelindingkan bola salju.”
“Aww mau aku foto.”
“Manis, ke sini. Butuh mama tiri barukah?”
Hmm pesonaku memang bukan main. SEM-PUR-NA.
Aku mendongak, menatap ke arah para pemujaku yang langsung berteriak, “Kyaaaa imut!” Memang sempurna diriku ini. Sempurna. Lantas kemudian kualihkan pandang kepada Sean yang sedari tadi masih saja mengekoriku. Berbeda dengan para pemujaku, bocah yang satu ini seolah lebih tertarik mengarakku menuju alun-alun dan melemparkan tubuhku ke api unggun.
“Kenapa?” tanyaku sembari menelengkan kepala, membuat salah satu telinga kelinci tertunduk layu. “Mau makan es salju?”
“Perutku bisa sakit, Baby.”
“Sean, kamu ke sana saja,” aku menunjuk kelompok anak-anak yang terdiri dari cewek manis. Mereka semua tengah memperhatikan Sean. “Ayo tunjukkan jiwa sosialmu. Main bersama mereka.”
Ujung bibir Sean terangkat. “Aku maunya main di sini.”
Cih padahal dia hanya tertarik membuatku merasa terusik! “Tidak mau!” tolakku sembari memukul bola salju. “Aku tidak mau main bersama Sean! Tidak mau!”
Bukannya mundur, Sean justru menjulurkan tangan dan menarik kedua telinga kelinciku. “Oh ya.... Aku mau main seharian dengan Puppy.”
Oh no! Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sontak aku pun berusaha menarik tudungku, meronta, dan berjuang menendang Sean. Semua usaha bela diriku gagal, saudara-saudara. Sean justru terkekeh seakan menikmati pemberontakanku. Persis kucing yang sedang mempermainkan mangsanya.
“Uaaaaa nakal!” raungku, putus asa. “Sean nakal! Nakal!”
Kedua tanganku mengepal, menjatuhkan pukulan yang sama sekali tidak berdampak apa pun terhadap Sean.
“Nakal!” teriakku, pantang menyerah. “Dasar nakal! Nakal! Papaaaa!”
Tidak lama kemudian terdengar derap langkah kaki. Seseorang memperingatkan Sean agar berhenti bersikap buruk, sementara Ronan meraupku dan menggendongku.
“Baby, Papa di sini.”
“Uaaa Sean nakal,” aku mulai mengadu. “Dia menarik telinga kelinciku! Nakal! Nakal! Uaaaaaa!”
Hahaha rasakan! Selamat menikmati pembalasan dariku!
Ronan kini menatap tajam kepada sepasang ayah dan anak. Si ayah berusaha memberi wejangan kepada si anak, yang sayangnya seluruh wejangan sama sekali tidak diterima.
“Tuan White, aku tidak terima dengan perlakuan putramu.”
Tuan White, ayah Sean. Dia memiliki rambut berwarna perak dan mata biru. Sama sekali tidak mirip Sean dalam sisi mana pun kecuali bentuk mata dan hidungnya. “Maaf, Sean biasanya sangat dewasa. Dia tidak pernah mengganggu anak mana pun.”
“Putriku?”
“Mungkin dia hanya ingin bermain saja,” Tuan White membalas. “Bagaimana kalau kita makan bersama? Sebagai permintaan maaf?”
“Dan membiarkan putramu terus mengganggu putriku?”
“...”
“Dia menarik telinga putriku.”
“Telinga kelinci,” Tuan White mengoreksi, “yang ada di tudung jaket.”
“Menarik telinga putriku,” Ronan mengulang, tidak peduli. “Dan membuatnya menangis? Apa maksudmu itu perbuatan anak-anak baik?”
Sejenak Tuan White menatap tajam kepada Sean yang pura-pura tertarik mengamati badut.
“Aku akan biarkan,” kata Ronan. “Tapi tidak untuk lain kali.”
“Tuan Collin, jangan begitu. Istriku bisa mengamuk nanti. Ayolah, kita makan bersama dan berdiskusi mengenai proyek. Anak-anak memang kadang begitu.”
“Anakku tidak pernah mengganggu anak siapa pun, kecuali ikanku.”
Heeeeh mengapa Ronan masih saja membahas mengenai ikan sapi! Aku hanya mengusulkan menu makan sehat! Ikan goreng. Ikan bakar! Ikan saus asam manis! Sup ikan!
“Ajari putramu tata krama.” Itulah yang Ronan ucapkan sebelum meninggalkan mereka.
Hehehe aku sempat dong menjulurkan lidah kepada Sean. Rasakan!
Sean: ...
Selesai ditulis pada 3 April 2023.
:”) Sudah tamat. Terima kasih atas perhatian dan dukungannya. Ehehehehe. I love youuuuuuuuuuuu!
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
FantasiaBagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...