Why oh why? Posisiku sekarang terasa canggung dan aneh! Telunjukku! Semua ini gara-gara telunjuk sakti milikku! Oh bukan. Telunjuk imutku tidak bersalah. Satu-satunya yang pantas disalahkan ialah keinginanku makan permen, kue, dan es krim! Semua makanan manis dengan kadar gula mengancam kestabilan insulin memang lebih seksi daripada bisikan iblis.
Aw lupakan! Sekarang aku terjebak perhatian dari beberapa orang dewasa yang berdiri di dekat si bocah. Aku tidak tahu level bocah yang kini menatapku dengan tatapan penuh minat, persis rubah yang berhasil menemukan tikus dalam persembunyian. Padahal dia, si bocah itu, mungkin sepantaran Ian, tapi hawanya membuatku terancam!
“U ... uuuu,” ratapku sembari menahan diri agar tidak mencair jadi genangan lumpur, “itu.”
Andai saja jarak antara kami, aku dan si bocah, jauh mungkin tidak terlalu memalukan. Masalahnya kami hanya terpisah beberapa langkah saja. Aku bahkan bisa melihat dengan jelas rambut hitam dan sepasang mata berwarna biru yang kini berkilat jenaka saat menyaksikan ketololanku!
“Huuuu,” kataku, mati-matian menahan tangis.
NO! Aku tidak cengeng. Hanya saja ini, air mata, merupakan reaksi alami bawaan bayi. Sedari dulu sebelum aku sadar diriku adalah tokoh sampingan jahat kelas teri sampai naik tingkat jadi balita kesayangan Big Villain reaksi ingin ber-uaaaa ini memang ada.
Wajahku terasa panas! “Uueee,” ratapku mempertahankan harga diri.
Pegawai toko dan orang dewasa berpakaian formal yang ada di dekat si bocah pun mengamatiku dengan senyum merekah. Beberapa di antara mereka menyentuh mulut seakan hendak menahan dorongan ingin berteriak, “Aku mamamu, Nak! Sini peluk Mama!” Ada pula, pria, yang mengarahkan ponsel dan mungkin merekamku.
Si bocah itu?
Tampilannya persis anak kaum atas! Aku pernah menyaksikan satu dua putra maupun putri keluarga konglomerat (tentu saja melalui layar kaca). Mereka rata-rata memiliki aura khusus. Entahlah. Pokoknya sekali lihat semua orang tahu bahwa anak tersebut dibesarkan oleh kaum ningrat. Padahal bocah itu hanya mengenakan celana jins dan hoodie, tapi caranya melihatku jauh lebih menakutkan daripada perawatku di panti saat menangkap basah diriku makan permen lebih dari lima bungkus dalam sehari!
Wajahku pasti merah sekali persis tomat. Barangkali mereka, orang-orang yang ada di sekitarku, tidak mengatakan apa pun demi menjaga martabat balita. Lagi pula, aku tidak bermaksud menunjuk si bocah!
“Kamu mau aku?” tanya si bocah dengan nada ala iblis yang ingin menyuruh manusia melakukan kejahatan. “Begitu?”
‘Hei, Bung,’ kataku dalam hati. ‘Mengapa rasanya seperti adegan 21 plus ketika ada tokoh yang hendak menawarkan mandi madu dan susu?’
“Kemari,” katanya dengan nada mendayu sembari memamerkan boneka pinguin yang ada di dekatnya, “kamu mau? Sini.”
PENCULIK! BANDAR JUDI! Pasti dia punya maksud tertentu.
“Atau kamu mau beruang?” dia menawarkan boneka mungil yang diserahkan oleh salah satu pegawai. “Ah iya, kamu kelinci.”
Lekas aku menggeleng dan berlari ke arah Asisten Chen. Harga diri balitaku hancur! Aku butuh papaku!
“Uaaaaa!” teriakku.
Tanpa ragu aku memeluk kaki Asisten Chen dan membiarkannya mengangkatku kemudian mengamankan diriku dalam gendongannya. Lekas kubenamkan wajah ke lengan Asisten Chen. Ah selamat tinggal reputasiku.
“Selamat siang, Om,” si bocah menyapa.
“Tuan Ian pasti senang bertemu Tuan Muda White,” ujar Asisten Chen dengan nada ala pegawai bank ketika menghadapi nasabah prioritas.
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
FantasíaBagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...