Hari ketiga liburan. Akhirnya aku berkenalan dengan pacar William Lawrence. Siapa sih? Itu yang kupikirkan. Semalaman dihantui perasaan kepo tingkat dewa. Untung tubuh balita mudah ngantuk sehingga esoknya aku bangun dengan segar dan bugar. Sehat!
Agar bisa berjumpa pacar Will, aku harus pergi ke peternakan. Ronan kali ini tidak mau membiarkanku dan Ian jalan-jalan seorang diri. Dia sukarela ikut ke peternakan milik Lawrence.
Yah bayangkan saja rumput hijau, kandang sapi, istal kuda, gudang jerami, bapak-bapak bertubuh kuat yang mengurus peternakan, wanita pemerah susu, dan udara sejuk.
“Perkenalkan pacarku, Dahlia!”
Berdiri di hadapan kami—aku, Ian, Sean, Otto, dan Ronan—seekor kuda betina hitam. Dia telah dipasangi pelana. Bulu-bulunya terlihat mengilap di bawah terpaan cahaya matahari.
Sekarang aku ingin mempertanyakan semua informasi yang Sean berikan.
Aku memelototi Sean yang berdiri di sampingku, sama sekali tidak peduli bahwa dia akan menjadi orang penting di masa depan.
“Mana pacar Will?” tuntutku kepada Sean yang dibalas dengan senyuman “mohon pengertiaannya ya, Mbak”.
“Bagi Will pacarnya adalah Dahlia,” jawab Sean tanpa setetes rasa bersalah. “Aku nggak bohong. Will memang punya pacar. Nggak ada satu cewek pun yang bisa menarik perhatian Will selain Dahlia.”
‘Nggak punya pacar your head!’ makiku dalam hati.
“Dari dulu Will sangat menyukai kuda dan anjing,” Otto menambahkan.
‘Jadi, aku nggak lebih istimewa daripada Dandy dan Dahlia?’ Oh hatiku kembali meratap.
Alih-alih peduli dengan percekcokan anak kecil, Will mulai naik ke punggung Dahlia. Dia membimbing kudanya masuk ke arena khusus. Dahlia berjalan mengikuti arahan Will. Kuda itu sangat anggun dan sepertinya tidak galak.
Sementara Will bersenang-senang dengan Dahlia, aku mulai merengek kepada Ronan. Ogah berdekatan dengan Sean.
Ronan menggendongku dan membiarkanku menatap lesu ke arah Will. Cinta pertamaku memang kurang ajar! Mulai detik ini kuputuskan saja tali cinta yang belum sempat terjalin. Balita juga perlu menjaga reputasi di hadapan orang.
***
“Jadi, kira-kira apa ada bedanya dengan budidaya koi?”
Dalam gendongan Ronan aku merasa kembali menjadi penguasa. Ronan mengikuti Otto ke salah satu tempat budidaya lele. Ini bukan sekadar lele biasa, melainkan lele yang memiliki corak hitam putih persis koi. Sirip dan bentuk tubuhnya pun jauh lebih indah dibanding lele pada umumnya.
Aku paham sih Ronan memang memiliki ketertarikan terhadap ikan koi. Namun, tidak disangka dia juga berminat memelihara lele sapi. Di mata papaku ikan-ikan itu seperti peri-peri yang tengah berenang, tetapi bagiku mereka semua hanyalah sekumpulan pecel lele, lele goreng, lele penyet, dan segala macam makanan enak.
“Om Ronan, Kayla ngiler,” Ian memperingatkan.
“Baby, kenapa kamu ini?” tanya Ronan sembari menyeka bibirku dengan tisu yang diberikan Ian. Hei, sejak kapan mereka hobi bawa tisu? “Lapar?”
“Kakek,” Sean memanggil, “goreng saja salah satu lele yang ada di sini.”
Ronan dan Otto langsung membeku begitu mendengar ide Sean.
“Kenapa kamu tidak ikut bermain dengan Will?” tanya Otto kepada Sean.
“Aku nggak tertarik melihat dia bersenang-senang dengan kuda,” jawab Sean, santai.
Barangkali kedua lelaki dewasa ini takut terjadi hal buruk pada lele-lele gemuk-eh, lele indah. Mereka akhirnya mengajak kami pergi ke rumah makan yang letaknya tidak jauh dari budidaya lele.
Tentu saja aku senang. Bisa makan ayam asam manis dan nasi hangat. SURGA! Tidak perlu memikirkan Will. Dia sudah jadi sejarah. Aku akan memikirkan mengenai cara menggoreng ikan-eh, maksudku cara membahagiakan diri sendiri menggunakan metode selain merayu cowok.
Cinta memang indah, tapi tidak selamanya diperuntukkan bagi semua orang. Romeo dan Juliet, Layla dan Majnun, Putri Salju dan Pangeran; semua itu cerita mengenai cinta. Namun, aku tidak yakin bisa memiliki seorang cowok yang bersedia memberikan waktunya bagiku.
Di desaku dulu kebanyakan perempuan menikahi lelaki yang tidak bisa menyokong rumah tangga. Alias, istri akhirnya harus menjadi tenaga kerja di luar negeri; entah perawat di Taiwan, asisten rumah tangga di Hongkong ataupun Arab Saudi, dan buruh di Korea maupun Jepang.
Apa yang dilakukan suami?
Mengurus anak. Persis pinguin. Bedanya pinguin jantan akan merawat anaknya agar si betina bisa mencari makan. Bagus andai si suami tahu cara memanfaatkan uang. Namun, tidak dengan yang terjadi di desaku. Kebanyakan suami hanya merokok, kumpul di warung, omong kosong sesama orang tidak punya semangat kerja, dan hanya bergantung pada penghasilan istri.
Kemungkinan terburuk? Suami selingkuh, suami tidak memiliki motivasi kerja, jadi beban.
Kemungkinan baik? Suami mendepositokan penghasilan, mulai bisnis kecil-kecilan, atau mencoba cari pekerjaan.
Aku tidak ingin menghancurkan diriku demi lelaki modal tampang doang!
***
Sekarang semangatku menemui Will telah redup.
Semenjak bertemu Dahlia aku jadi teringat nasihat bijak; “Cinta nggak selamanya indah, Dek.”
Dean dan Felix tidak ada. Hanya Ian yang sabar menemaniku berkeliling vila. Sesekali aku mengintip Ronan yang tengah membaca sesuatu dari ponselnya. Dia mungkin masih bekerja. Bahkan ketika bersamaku.
Oh ya, setelah dua hari absen berkunjung ke vila milik Lawrence, akhirnya Will, Sean, dan Dandy yang ganti main ke tempatku. Dulu, saat cinta masih mekar dalam hati, aku pasti akan menghambur dalam pelukan Will. Namun, kini segalanya tinggal kenangan.
Will: ...
Dandy melesat ke arahku, berkali-kali menjilat wajahku sembari mengibaskan ekor.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan di sekitar vila?”
“Nggak,” aku menolak tawaran Will, “Papa bilang nggak boleh sembarangan keluar.”
“Ada toko yang menjual beragam olahan dari susu dan yogurt,” ujar Ian.
“Papaaaaaaa!”
Ian: ...
Aku berlari masuk ke ruang kerja diikuti Dandy yang menggonggong riang di belakangku. Ronan sedang berdiri menghadap jendela, tampaknya dia tengah melakukan percakapan dengan seseorang melalui panggilan suara. Begitu mendengar panggilanku, dia berhenti melakukan percakapan dan memutuskan sambungan telepon.
Ronan mengerutkan kening begitu melihat Dandy yang menempel di dekatku. “Anjing keluarga Lawrence?”
“Papa! Papa! Papa, ayo kita beli jajan,” aku mengabaikan perengutan Ronan karena melihat keberadaan Dandy. “Ayo jajan! Jajan!”
Dengan segenap kekuatan kupeluk kaki Ronan. Bahkan Dandy pun berputar di sekitar Ronan sembari menggonggong seolah menyemangati papaku.
“Kayla, kamu nggak bisa jajan sembarangan.”
“Nggak sembarangan,” tepisku. “Kan ada Papa.”
Ketika melihat Ronan akan kembali mendebat, aku pun mulai mengeluarkan jurus andalan: “Uaaaaaaaaa jajan! Sean bilang ada toko yang menjual olahan dari susu dan yogurt. Itu, kan, baik untuk kesehatan. Aku mau coba. Coba! Oh iya, aku ingin membelikan oleh-oleh untuk teman-temanku.”
“Oke,” akhirnya Ronan memberi persetujuan, “tapi, Papa yang pilih.”
Sudah kuduga. Sekalipun ada izin pasti pengecualian mengekor di belakang kata “boleh”, “oke”, dan “iya”. Namun, tidak masalah. Aku masih bisa mencicipi olahan yogurt. Hehehehe jajan, I’m coming!
Selesai ditulis pada 20 Maret 2023.
P.S: Episode selanjutnya mungkin akan sedikit hehehehehehehehehe.
P.S: I love you, teman-teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S PRECIOUS DAUGHTER (Tamat)
FantasyBagaimana bisa aku terjebak dilema sebagai antagonis sampingan? Sebagaimana takdir seorang antagonis walau kelas receh sekalipun; kalah saing dengan female lead, dicuekin male lead, kemudian mati sengsara akibat terlalu sering membuat siasat licik...