Aku terdiam di atas tempat tidur. Menatap langit-langit kamar dengan malas.
Rasa sesak di dada ini masih ada. Dan aku tak bisa apa-apa. Aku tak ingin berbicara pada Leo, bahkan Alka dan Arka. Aku hanya menginginkan Naradipta.
Aku merindukan sosoknya ...
Mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Membuka ruang obrolan ku dengan Naradipta, aku tidak ingin mengetik pesan, jadi lebih baik aku menelponnya saja.
Aku menekan ikon panggilan di kanan pojok atas, menunggu beberapa saat karena panggilan masih menghubungkan.
“Halo, Atha?”
“Papa, kapan pulang?”
“Nanti malam? Kenapa, kamu rindu?”
Suara tawa terdengar menguar dari sebrang, aku hanya tersenyum tipis, meremas selimut tebal yang menutupi separuh kakiku.
“Katakan lah seperti itu. Cepat lah pulang, Papa ... Aku membutuhkan mu ... Aku ingin pelukan hangat mu ... Aku ... Papa ...”
Sunyi, suara tawa yang menguar tadi berhenti. Aku kembali tersenyum, mataku memanas, apa Naradipta tak mengharapkan ini terucap dari bibirku?
Atau dia mencoba berbohong tentang semuanya?
Aku menggigit bibirku, rasanya semua orang sama saja. Tidak ada yang bisa ku taruh harapan.
“Hng ... Kheuk, k-kalo gak bisa, gak pa-pa ... Papa selesaikan saja urusan Papa dulu di sana ...”
Isakan kecil lolos dari bibirku, sungguh. Perasaan ku benar-benar sakit. Memangnya siapa diriku? Bahkan, Gabriel saja sering ia abaikan.
Apa yang aku harapkan?
Jiwa asing ini, tidak memiliki tempat kembali.
Hening masih saja menyapa. Aku menatap layar ponselku sebentar, kemudian mematikan panggilan secara sepihak.
Aku menangis, lutut ku—aku tekuk, kemudian menyembunyikan wajahku di lengan yang bertumpu di sana.
Rasanya sakit sekali.
Bayangkan jika aku adalah kalian. Kamu dipisahkan secara paksa dengan satu-satunya keluarga yang tersisa di hidup mu. Dipaksa untuk menuruti sebuah peraturan yang bahkan kamu sendiri tidak mengerti kenapa itu ada.
Disiksa dengan alasan tak masuk akal. Mendapatkan keluarga dengan orang-orang gila di dalamnya.
Mendapatkan seorang pendamping, namun dia juga menyakiti fisik mu.
Aku tahu, aku mungkin terlalu lebay. Semuanya memang terlihat sepele. Sangat sepele, mungkin ada yang berpikir, ‘cukup mengikuti mereka, dan hidup sebagai orang baru.’ Aku tidak bisa melakukan itu.
Faktanya itu terlalu sulit. Semuanya berbeda, lingkungan berbeda, orang-orang dengan sifatnya yang berbeda. Aku juga seorang manusia. Aku bukan seorang makhluk yang diciptakan dengan kemampuan beradaptasi yang cepat.
Aku tidak seperti itu.
Mau bagaimanapun aku memaksa, pada akhirnya, aku akan menyakiti diriku sendiri.
Aku masih sayang dengan dengan nyawa dan diriku, asal kalian tahu. Dulu, aku pernah bersumpah, bahwa yang bisa menyakiti diriku, tubuhku, dan mental ku adalah aku sendiri. Orang lain tidak memiliki hak untuk menyentuh atau melukai tubuhku.
Tapi sekarang berbeda.
Aku dikendalikan, aku tak memiliki apapun.
Kebebasan saja, rasanya hanya sebuah harapan palsu bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atharya: Reborn as an Outcast.
RandomAtharya Fredrika. Seorang remaja laki-laki yang baru saja lulus SMA, harus mati setelah ia mengamuk karena Novel cringe yang ia baca. Atharya Gabriel Naradipta, seorang remaja laki-laki berusia lima belas tahun, anak ke-3 dari tiga bersaudara, anak...