Bab 9 (Bunga untuk Nara)

36 5 0
                                    

Happy Reading
  Jangan lupa vote dan komennya
Arkan dan Karin sontak saling melihat satu sama lain. Karin terlihat menggigit bibirnya seakan ingin bicara namun tak kunjung sampai.
“Dia bukan istri saya,” jelas Arkan.
Mata Karin mulai berkaca-kaca saat Arkan mengatakan jika ia bukan istrinya. Meski Karin tahu bahwa tanggapan si penjual bunga itu salah namun Karin berharap jika Arkan mengiyakan atau hanya sekedar diam saja.
“Oh maaf saya kira istrinya,” ucap si penjual bunga dengan wajah bersalah.
“Ini uangnya.” ucap Arkan sambil menyodorkan uang lima lembar seratus ribuan.
“Saya ambil kembaliannya dulu ya!” tutur penjual itu seraya mengambil uang yang di sodorkan Arkan dan melangkah masuk mengambil uang di dalam.
“Mbak Karin, ayo cepat kita harus cepat kembali ke Jakarta, shooting kita di Subang kan sudah selesai, sekarang kita lanjut shooting di Jakarta.” ucap pria yang baru saja datang menghampiri Karin.
“Ah ya, saya duluan.” pamit Karin kepada Arkan.
“Ya.” balas Arkan singkat sambil menundukkan pandangannya dari Karin.
Karin melangkah pergi sambil menoleh ke belakang melihat Arkan. Berharap jika Arkan akan menoleh kepadanya.
“Mbak,” tegur asistennya.
“Ayo!” putus Karin melanjutkan langkahnya.
Si penjual bunga itu pun keluar dengan sambil menyodorkan uang Rp 50.000 untuk kembalian Arkan.
“Terima kasih.” ucap Arkan dengan santun sambil menundukkan kepalanya.
Sambil menyetir seakan wajah Karin selalu muncul dari pikirannya.
“Astaghfirullah,” ucap Arkan langsung menghentikan mobilnya.
*Flashback on*
Ia mengingat kejadian empat tahun silam saat pernikahan keduanya tinggal menghitung hari. Karin dan keluarga datang seraya berkata.
“Kami tidak bisa melanjutkan pernikahan ini,” tutur Ibu Pramita Ibu dari Karin.
Tentu itu membuat Arkan dan keluarganya bingung.
“Maksudnya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini, bagaimana ya?” tanya Kyai Anwar.
“Tidak mudah bagi Karin untuk sampai bisa jadi seperti sekarang, jadi jika Karin harus meninggalkan dunia Entertain, maka,” ucap Ibu Pramita terhenti, semua mata telah tertuju kepadanya.
“Arkan harus bisa memberikan uang per bulan seperti penghasilan Karin, atau setidaknya tiga ratus juta per bulan.” lanjut Ibu Pramita.
Disitu baik Arkan ataupun keluarganya sangat terkejut dengan uang sebanyak itu. Jangan kan Rp 300.000.000 untuk Rp 100.000.000 per bulan itu sangat tidak mampu Arkan penuhi. Arkan melihat kearah Karin berharap Karin tidak menyetujui permintaan ibunya, namun Karin hanya diam tanpa penolakan apa pun. Arkan pun menerima pembatalan itu karena bahkan orang yang di harapkan menolak permintaan itu yaitu Karin, dia hanya diam saja. Ia tahu ia tidak mampu mengimbangi glamornya kehidupan Karin yang selalu menggunakan barang-barang branded.
*Flashback off*
“Allah telah memberikan seorang istri yang sangat baik lalu untuk apa saya harus memikirkan yang lain.” ucap Arkan membuyarkan ingatannya tentang kejadian yang sulit ia lupakan itu.
Arkan menarik pedal gas nya kembali dan mulai melajukan mobilnya kembali.  Sesampai di pesantren  para santri memerhatikan Arkan sambil berbisik-bisik karena melihat Arkan tengah  memegang bunga. Arkan yang menyadarinya pun mempercepat langkah kakinya masuk ke dalam.
“Kamu pegang apa Arkan?” tanya Ummi Arofah membuat Arkan langsung menyembunyikan bunga itu di belakangnya.
“A.... bukan apa-apa Ummi.” jawab Arkan gugup seraya langsung bergegas masuk ke dalam kamarnya dan dengan cepat menutup pintunya.
Nara yang melihat Arkan baru datang langsung menyapa suaminya itu.
“Mas Arkan baru datang?” ucap Nara seraya beranjak dari tempat tidurnya namun langsung di hentikan oleh Arkan dan meletakkan bunganya di atas meja.
“Istirahat saja jangan banyak gerak.” larang Arkan.
Nara menoleh ke arah meja. Arkan yang melihat pandangan Nara sudah tertuju ke meja langsung mengambil bunga itu dan memberikan kepada Nara.
“Tadi tidak sengaja lewat, saya lihat bunga itu bagus jadi saya belikan untukmu.” tutur Arkan.
“Terima kasih Mas.” balas Nara seraya mencium bunga itu dengan senyum penuh haru.
“Kamu suka bunga nya?” tanya Arkan gugup.
“Suka Mas, bagus, tapi bunga ini mahal.”
“Sekali-kali tidak apa-apa kan.”
“Terima kasih Mas, tapi lebih baik jangan beli bunga yang mahal lagi, sayang uangnya dari pada beli bunga lebih baikkan beli bahan makanan buat masak di pesantren.” saran Nara.
Arkan berpikir jika seandainya ia bersama Karin yang terbiasa hidup mewah, uang Rp 450.000 tidak akan ada apa-apanya untuk Karin, padahal uang 450.000 itu sangat berarti untuk ia gunakan sebagai keperluan lainnya.
“Teman saya saranin saya untuk mengajar di salah satu kampus untuk menjadi dosen, dia juga sudah menjadi dosen, katanya kampus disana tengah mencari dosen jurusan agama,” cerita Arkan.
“Menurut saya itu bagus Mas, coba saja lamar jadi Dosen, tapi apa pun keputusan Mas, Nara akan mendukungnya.”
“Terima kasih karena selalu mendukung apa pun keputusan Mas, Saya juga akan membicarakan ini kepada Ummi dan Abi.” lanjut Arkan.
“Ya lebih baik Mas cerita kepada Ummi dan Abi.” ujar Nara.
Selesai shalat Maghrib seperti biasa Arkan akan mengajar santri putra. Kali ini Arkan mengajar tentang tajwid kepada para santri. Dimana  pemahaman tajwid sangat di butuhkan saat mengaji.
“Beberapa hari yang lalu saya menjelaskan tentang Mad wajib muttashil, ada yang masih ingat?” tanya Arkan.
“Saya Gus!” unjuk salah satu santri sambil mengacungkan tangannya.
“Bisa di jelaskan kembali!” pinta Arkan.
“Mad wajib muttashil ia lah setelah huruf Mad ada Hamzah yang berada dalam satu kalimat.” jawab santri itu.
“Tepat, coba yang lain, apa itu huruf mad?” tanya Arkan Kembali.
“Saya,” jawab santri yang tadi.
“Coba yang lain,” perintah Arkan.
“Saya Gus,” jawab lainnya.
Arkan menyuruh nya menjelaskan huruf Mad.
“Huruf Mad ialah Wawu sukun di dahului oleh dammah, Ya’ sukun di dahului oleh Kasrah, Alif sukun di dahului oleh fathah.”
Arkan membenarkan jawaban santri itu. Ia mulai menjelaskan kembali Mad Jaiz munfashil yang hampir mirip dengan Mad wajib muttashil yaitu setelah huruf Mad bertemu Hamzah namun berada di dua kalimat. Sedangkan Mad wajib berada di satu kalimat.
“Di malam selanjutnya saya akan memberikan beberapa contoh untuk sekarang kita sudahi dulu, Assalamualaikum.” pamit Arkan seraya menuju mushalla pesantren karena hampir menjelang isya’. Setelah melaksanakan shalat isya’ seperti biasa Arkan bersama keluarga besar, seperti kyai Anwar, Ummi Arofah, Ummi Safa, beserta Adik perempuannya Aiyana juga Nara berbicara bersama.
Arkan mulai menyampaikan keinginannya untuk melamar menjadi Dosen. Semua keluarga menyerahkan keputusan itu pada Arkan selama apa yang di lakukannya itu baik, semua keluarganya akan mendukung.
“Tapi bagaimana dengan tugas kamu di MTs juga MA?” tanya Ummi Arofah.
“Arkan punya waktu luang dua hari dalam satu Minggu, karena Arkan hanya mengajar empat hari dalam seminggu untuk MTs dan MA, jika Arkan di terima mungkin bisa di atur ulang agar saat libur mengajar di kampus Arkan bisa mengajar disini,” jelas Arkan.
“Jika memang keteteran, Nara bisa gantikan Mas Arkan mengajar kelas Putri.” sambung Nara.
“Oh ya dulu kan kamu bertemu dengan Alvaro di saat mengajar di sekolah,” sambung Ummi Safa membuat suasana yang semula cair menjadi kaku.
Meski semua keluarga mengenal Alvaro namun Nara yang kini berstatus sebagai istri Arkan tentu hal itu membuat suasana menjadi tidak nyaman.



*Wah apakah Arkan akan jadi dosen??

Jalan Surgaku [Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang