Bab 30(Kembalinya Ustadz Qasim)

46 2 0
                                    

      Happy Reading
  Nara terus melangkah dengan perasaan terus bertanya-tanya siapa tamu yang akan bertemu dirinya. Ia tahu, ia tidak punya banyak kenalan. Jika Sofia dan Fitri tentu saja keluarga Arkan tahu mereka.
“Apa ada sesuatu?” Tanya Nara bingung.
“Sudahlah, nanti saya juga akan tahu siapa yang ingin bertemu dengan saya.”
Nara tak menyangka jika tamu seorang yang di maksud Megan adalah Ayah dan Ibu nya.
“Ayah ibu,” ucap Nara seraya mencium tangan keduanya satu persatu.
“Nara kira siapa.” Ucap Nara pada kedua orang tuanya.
“Tadi pagi Arkan nelfon nyuruh Ibu dan Ayah datang, katanya kamu rindu kami,” terang Ibu Wati.
“Jadi Mas Arkan yang mengabari Ayah sama Ibu?” Tanya Nara tak percaya.
“Tentu saja, suamimu itu tidak ingin kamu bersedih,” sambung Bapak Rozak.
Kala mereka hanya berdua, Nara mulai mengadu akan kegelisahan yang ia rasakan, rasa takut yang mulai mengganggu pikirannya. Ibu Wati mencoba menghibur putrinya itu. Ia paham akan perasaan Nara, meski ia yakin jika Arkan akan selalu mencintai Nara apa adanya namun ia juga tahu bagaimana perasaan seorang istri. Ibu Wati terus menenangkan hati Nara, bahwa tidak semua rumah tangga akan segera memiliki keturunan. Manusia hanya bisa berdoa dan berusaha. Namun Allah lah yang maha menentukan.
“Apa Mas Arkan akan terus mencintai Nara?” tanya Nara masih dengan perasaan ragunya.
“Mengapa kamu meragukan Arkan?” tanya balik Ibu Wati.
Nara menunduk, Nara merasa bersalah karena seakan ia meragukan kesetiaan Arkan. Ia seharusnya lebih banyak berdoa di banding menangis, jika ia melihat kehidupan keluarga lain, banyak dari orang yang usia pernikahannya sudah sepuluh tahun namun belum kunjung juga di karunia sebuah keturunan. Anak adalah sebuah titipin, dan hanya Allah yang tahu kapan titipan itu akan di berikan. Ketika Arkan datang, Nara langsung memeluk tubuh Arkan dengan erat. Nara berterima kasih karena telah meminta kedua orang nya datang, ia juga meminta maaf kepada Arkan. Arkan melepas pelukan Nara seraya berkata.
“Itu memang seharusnya saya lakukan, tapi kamu tidak perlu minta maaf, mungkin Allah ingin agar kita punya waktu lebih banyak untuk menjaga Arfan, oleh sebab itu Allah belum memberikan kita keturunan.”
Mendengar itu Nara terkejut karena ia tidak mengatakan apa pun pada Arkan.
“Saya menemukan alat tes kehamilan, jadi saya pikir kamu menangis karena hal itu,” lanjut Arkan.
Arkan memegang kedua pundak Nara, Arkan meyakinkan Nara, bahwa ia akan selalu mencintai Nara apa adanya.
“Terima kasih,” ucap Nara seraya memeluk Arkan.
Satu bulan kemudian, tak di sangka enam bulan telah berlalu, Ustadz Qasim sudah menyelesaikan tugasnya untuk mengajar di Solo, kini ia akan kembali ke Subang. Ustadz Qasim mulai memasukkan satu persatu pakaian dalam tas miliknya. Ia memandangi ruang kamar tidurnya. Seakan berat ia untuk kembali ke Subang. Ia tahu dengan ia sering bertemu dengan Nara, akan membuat perasaannya semakin tumbuh dan tak karuan. Jarak memang belum tentu membuat perasaannya hilang namun dekat dengan Nara tentu membuatnya kian tersiksa. Seakan ketika ia bertemu Nara seperti sebuah tanaman yang di beri pupuk, semakin besar dan besar.
Tok tok tok Sebuah ketukan pintu terdengar, ia pun langsung membuka pintu kamarnya.
“Assalamualaikum Ustadz,” sapa salah seorang santri putra disana.
“Ikhsan, ada apa?” tanya Ustadz Qasim.
“Ada surat untuk Ustadz Qasim,” ucap Ikhsan seraya menyodorkan surat kepada Ustadz Qasim. Ustadz Qasim pun mengambil surat yang di sodorkan oleh Ikhsan.
“Saya permisi, Assalamualaikum,” pamit Ikhsan.
“Waalaikumsalam,” jawab Ustadz Qasim sambil terus memandangi surat itu seraya menutup pintu kamarnya.
“Baca nanti saja,” ucap Ustadz Qasim seraya menaruh surat itu di dalam tas miliknya.
Di sisi lain Ummi Arofah memasakkan ayam goreng kecap kesukaan Ustadz Qasim. Mengingat Arkan tidak suka Ayam goreng kecap, Ummi Arofah juga membuat Ayam goreng biasa untuk Arkan.
“Tumben Ummi membuat ayam goreng kecap?” tanya Nara yang baru keluar dari kamarnya sambil menggendong Arfan.
“Buat Qasim, Eh Arfan sudah bangun,” ucap Ummi Arofah seraya mencium Arfan.
“Ya Mi.”
“Ya sudah jagain Arfan saja, biar Ummi yang masak,” titah Ummi Arofah.
Arkan pun yang mencium aroma ayam goreng langsung bergegas ke dapur. Ia memang sangat menyukai ayam goreng, dia sebenarnya tidak pernah pilih-pilih makanan, hanya saja ia sangat suka ayam goreng, tapi tidak suka dengan ayam kecap. Ia mulai mengendus aroma ayam itu hingga akhirnya ia mendapat pukulan dari Ummi Arofah.
“Jangan seperti kucing,” tegur Ummi Arofah.
“Ummi, Arkan hanya mencium aromanya Mi.”
“Nanti Ummi juga akan kasih,” sungut Ummi Arofah.
“Ummi buat ayam kecap?”
“Ya nanti kan Qasim datang.” Terang Ummi Arofah sambil terus melanjutkan gorengan.
“Jadi Ustadz Qasim akan datang?”
Ummi Arofah mengangguk.
“Lalu siapa yang akan di lamar Ustadz Qasim, Hilmia apa Dinda?”
Pertanyaan Arkan membuat Ummi Arofah terdiam sejenak.
“Biar Qasim yang memilih nanti,” lanjut Ummi Arofah.
Di dapur santri, Hilmia dan Dinda sibuk memasak, di bantu oleh Megan. Biasanya yang membantu di dapur para santri senior, namun karena Megan meminta sendiri untuk membantu memasak, akhirnya Nara mengiyakan keinginan Megan.
“Kamu kupas bawangnya ya,” pinta Hilmia pada Megan.
“Baik Mbak,” jawab Megan.
Megan mulai mengiris bawang, sedangkan Dinda mengulek sambal.
Selesai memasak dan mengantar makanan di meja para santri. Hilmia, Dinda dan Megan sarapan bersama di dapur.
“Memang makan menggunakan tangan itu paling nikmat,” seru Dinda.
“Bener sekali,” sambung Hilmia.
Megan yang masih belum terbiasa makan dengan tangan, ia terus melihat Hilmia dan Dinda, dengan sedikit rasa ragu ia mencoba mengikuti mereka.
“Makan pakai tangan itu enak,” ucap Dinda pada Megan.
“Ya Mbak,” jawab Megan.
“Eh katanya Ustadz Qasim mau datang, dia anak angkat Kyai Anwar ya?” tanya Megan membuat Hilmia menghentikan suapannya.
Dinda melihat ke arah Hilmia.
“Benar, tapi ya sudah kamu makan saja, nanti kamu juga akan tahu Ustadz Qasim,” terang Dinda.
Sekitar jam sepuluh, dimana para santri masih sibuk di dalam kelas, Ustadz Qasim pun datang. Ia menemui Kyai Anwar dan Ummi Arofah, guna memberikan oleh-oleh yang di berikan kepada Kyai Anwar dari keluarga Kyai Faqih. Ia pun tak sengaja berpapasan dengan Hilmia.
“Hilmia, Assalamualaikum,” sapa Ustadz Qasim.
“Waalaikumsalam, kapan Ustadz Qasim datang?”
“Baru saja, bagaimana kabarmu?
“Alhamdulillah baik, maaf saya masih ada urusan,” pamit Hilmia melangkah meninggalkan Ustadz Qasim dengan cepat.
“Saya harus segera menemui Kyai Anwar untuk mengantar hadiah dari Kyai Faqih,” ujar Ustadz Qasim pada dirinya sendiri.
Kyai Faqih adalah pemilik pesantren tempat ia mengajar sekaligus salah satu teman seperjuangan Kyai Anwar dalam menimba ilmu dulu di Mesir.
“Kami dulu suka berbagi makanan, kami sahabat baik,” terang Kyai Anwar pada  Ustadz Qasim.
“Kyai Faqih juga berkata seperti itu,” jawab Ustadz Qasim.
“Apa kamu betah selama ada disana?” Tanya Ummi Arofah.
“Qasim betah Mi, Kyai Faqih dan keluarganya sangat baik, bahkan Kyai Faqih memperlakukan Qasim seperti putranya,” terang Ustadz Qasim.
“Faqih memang sangat ingin putra laki-laki, tapi semua anak-anaknya perempuan,” tutur Kyai Anwar.
Sesaat kemudian, Kyai Anwar mulai membahas tentang Dinda. Dimana sebelumnya Ustadz Qasim mengatakan jika ia mempunyai perasaan kepada Dinda.
“Apakah kamu ingin melamar Dinda?” tanya Kyai Anwar membuat Ustadz Qasim tersentak.

  

Jalan Surgaku [Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang