Bab 13 (Mengingat Alvaro)

24 4 0
                                    

  Happy Reading

    Keramaian pasar di pagi hari memanglah sudah biasa, namun tentu ini tidak seramai ketika tadi setelah subuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


    Keramaian pasar di pagi hari memanglah sudah biasa, namun tentu ini tidak seramai ketika tadi setelah subuh. Namun tetap saja di karena kan hari ini  hari Sabtu maka ada sebagian dari mereka sudah libur ada juga yang masih masuk bekerja sehingga pasar lebih ramai dari pada hari Senin-Jumat. Lalu lintang orang berjalan ke arah berlawanan masih sedikit membuat para pengunjung pasar sulit bergerak. Nara masih sibuk memilih satu persatu buah apel itu. Arkan yang sambil menggendong Arfan hanya diam dengan pandangan kosong, mengingat kejadian satu tahun sembilan bulan lalu. Dimana ketika ia bersama mendiang  Alvaro ke pasar.
“Panggil saya Arkan jangan Gus Arkan.” titah Arkan pada Alvaro.
Alvaro tersenyum, ia tahu putra sulung dari kyai Anwar itu tidak suka jika dirinya memanggil Arkan dengan sebutan Gus Arkan. Karena keduanya sangat dekat hingga menurut Arkan panggilan Gus Arkan menjadikan keduanya seakan ada jarak. Namun sayang pertemuan keduanya yang baru beberapa jam itu setelah empat tahun harus berakhir sampai disitu. Ya pasar itu adalah tempat dimana Alvaro terkena tusukan pisau.
“Mas ayo!” ajak Nara seraya menepuk pundaknya membuat Arkan terkejut.
“Ya.” jawab Arkan gelagapan.
“Mas kenapa terlihat panik?” tanya Nara khawatir.
“Tidak apa, ayo!” kilah Arkan.
Keduanya mulai melanjutkan perjalanan mereka kembali menuju Bekasi. Selama dalam perjalanan pandangan Arkan seakan kosong, ia hanya diam, bahkan karena tidak fokus ia hampir saja menabrak pengendara lain yang hendak belok kanan, padahal pengendara tersebut telah menyalakan sein mobilnya.
“Astaghfirullah.” ucap Arkan dengan wajah terkejut karena hampir menabrak mobil di depannya.
“Kalau nyetir hati-hati dong.” tegur pengendara mobil yang hampir ditabrak itu seraya membuka jendela mobilnya.
“Maaf.” pinta Arkan.
Pengemudi mobil itu melanjutkan laju mobilnya.
“Mas Arkan kenapa?” tanya Nara dengan wajah cemas.
“Tidak apa-apa.” jawab Arkan seraya kembali melajukan mobilnya.
Nara mulai merasa cemas, ia merasa seperti ada yang di rahasiakan oleh Arkan. Kurang lebih dari dua jam perjalanan akhirnya mereka bertiga sampai di Bekasi. Sesampai di rumahnya ternyata Ibu dan Ayahnya ada di samping rumahnya untuk memetik stroberi milik mereka. Keduanya memang sengaja menanam stroberi karena Nara putri semata wayang mereka sangat menyukai stroberi.
“Kenapa kalian tidak bilang-bilang jika ingin datang?” tanya Ibu Wati.
“Apa Nara harus izin dulu untuk bertemu dengan Ibu dan Ayah!” ucap Nara sambil mencium tangan kedua orang tuanya di ikuti oleh Arkan yang juga mencium tangan kedua mertuanya itu.
“Bukan seperti itu,” jawab Ibu Wati.
“Bagaimana kabarmu Nak?” tanya Bapak Rozak kepada menantunya itu.
“Alhamdulillah baik Yah.” jawab Arkan.
Ibu Wati yang sudah lama tidak bertemu dengan cucunya langsung menggendong Arfan.
“Ayo masuk ke dalam,” ajak Bapak Rozak kepada Nara dan Arkan.
“Nara ingin memetik stroberi dulu.” Tolak Nara.
“Ya sudah, Ibu dan ayah masuk dulu bersama Arfan.” ucap Ibu Wati.
Arkan pun menemani Nara memetik stroberi. Arkan juga meminta maaf karena selama ini tidak tahu jika Nara sangat menyukai stroberi. Arkan merasa bersalah karena sudah enam bulan lebih keduanya menikah namun ia tidak tahu banyak tentang istrinya itu. Ia bahkan tidak sadar akan perlakuan buruk bibinya hingga akhirnya keduanya harus kehilangan calon bayi mereka.
Nara akhirnya semakin sadar akan perkataan Alvaro dulu. Dimana ia mengatakan jika Arkan mempunyai hati yang lembut dan ia akan terus merasa bersalah ketika merasa apa yang di lakukannya itu menyakiti orang lain.
“Tidak perlu minta maaf, yang penting ke depannya belikan saya banyak stroberi.” canda Nara sambil tersenyum.
“Saya akan membelikanmu stroberi setiap hari.”
“Benarkah?” tanya Nara sambil tertawa.
“Tentu,” jawab Arkan.
“Ya sudah kita masuk.” ajak Nara pada Arkan.
Ibu Wati sedikit khawatir tentang kesehatan Nara, karena ia baru saja mengalami keguguran dua bulan lalu. Namun Nara menerangkan jika Arkan benar-benar suami yang baik dan bertanggung jawab. Ia bahkan mengurus Arfan dengan sangat telaten saat dirinya sakit. Mendengar hal itu Ibu Wati juga Bapak Rozak merasa lega, itu artinya keputusan Nara untuk menikah dengan Arkan bukanlah kesalahan. Dan benar kata Ummi Salma, Nara tidak akan menemukan pria yang lebih baik dari pada Arkan. Siang harinya setelah shalat ashar Nara juga Arkan bersama Arfan melihat keindahan sawah di kampung Nara. Nara sendiri mempunyai beberapa sawah hanya saja sawahnya di pekerjaan kepada orang. Sehingga ia hanya menunggu hasilnya. Hal ini Nara pinta agar kedua orang tuanya tidak terlalu lelah. Arkan melihat luasnya sawah nan hijau dan bunyi burung yang berkicau. Terlihat beberapa orang disana memberikan orang-orangan di tengah sawah atau sesuatu hal yang bisa berbunyi agar bisa membuat para burung pemakan padi itu kabur. Terlihat beberapa orang menyapa Nara, dan disitu Arkan baru mengetahui jika Nara dulu adalah salah satu kembang desa yang sangat di idam-idamkan para lelaki disana. Namun bagi Nara itu bukanlah kebanggaan, karena baginya tidak penting ia di cintai banyak pria. Karena hal yang membanggakan baginya adalah di saat ia di cintai satu pria namun pria itu menolak seribu wanita hanya untuk dirinya dan dalam hati pria itu hanya ada dirinya. Seakan kata-kata Nara berhasil membuat Arkan terdiam. Ia bertanya pada dirinya sendiri benarkah Nara satu-satunya wanita yang ada di hatinya dan ia juga merasa sangat bersalah karena terkadang ia sering berpikir akan wanita lain.
“Mas Arkan kenapa?” Tanya Nara.
“Mas hanya beruntung karena bisa mendapatkan mu.” terang Arkan.
Nara hanya tersenyum. Terlihat Arfan mulai rewel seakan ia mulai merasa lapar.
“Kita pulang saja, mungkin Arfan lapar atau haus,” ajak Arkan pada Nara.
“Sepertinya iya.” jawab Nara mengiyakan sambil mengelus kepala anaknya itu yang tengah di gendong oleh Arkan.
Keharmonisan keluarga Nara berhasil membuat orang-orang di kampungnya iri. Bagaimana tidak, dulu ia menikah dengan seorang ustadz yang mengajar MTs di desanya yang menjadi pujaan hati para gadis disana termasuk ibu-ibu yang mengidamkan Alvaro menjadi menantunya. Namun Akhirnya Alvaro melabuhkan hatinya kepada Nara. Meski keduanya akhirnya terpisah oleh maut. Terlihat menyedihkan ia di tinggal disaat tengah hamil, namun saat ia telah melahirkan dengan cepat datang seorang putra kyai yang memberi banyak kehormatan dan terlihat begitu mencintai Nara dan anaknya tanpa batas. Adzan Maghrib telah berkumandang, segera Nara mengambil wudhu’ dan shalat berjamaah bersama Arkan. Keduanya sangat jarang shalat berjamaah bersama di karena kan Arkan yang harus shalat di mushalla pesantren. Hal itu tentu mereka gunakan sebagai kesempatan untuk mempunyai waktu lebih banyak bersama. Namun justru tiba-tiba ketukan pintu kamar Nara berbunyi. Ya ketukan itu dari Ibu Wati. Segera Nara membukakan pintu untuk ibunya itu. Ibu Wati mulai berbisik-bisik kepada Nara tentang apa yang ia ingin katakan pada putrinya itu.
“Biar Nara yang bicara sama Mas Arkan.” tutur Nara pada Ibu Wati.
Ibu Wati mengangguk seraya melangkah pergi dari kamar Nara. Ia mulai mendekat ke arah suaminya, dan menceritakan apa yang di katakan Ibunya tadi.
“Apa Mas Arkan bersedia?” tanya Nara dengan ekspresi wajah ragu-ragu.
“Tentu, jika itu hal baik dan Mas tidak repot bagaimana mungkin Mas menolaknya.” jawab Arkan.
Ya salah seorang tetangganya sedang melakukan hajatan namun ustadz yang di undang tiba-tiba sakit sehingga di batalkan secara mendadak. Oleh sebab itulah mereka meminta Arkan untuk menggantikan ustadz itu untuk membacakan doa. Segera Nara dan Arkan bergegas menuju rumah Ibu Lasmi di karena para tamu sudah datang. Arkan mulai membacakan doa dan memberikan sedikit ceramah.
“Suami Nara semuanya seperti pangeran,” puji seorang ibu-ibu disana.
“Benar sekali.” puji satunya seraya berbisik-bisik.
Selesai acara Nara dan Arkan langsung bergegas pergi. Arkan telah memakai sendalnya dan akan melangkah pergi bersama istrinya itu, namun seorang wanita berusia 40 tahunan berkata.
“Bukannya kamu Arkan?” ucap wanita itu kepada Arkan seolah masih berusaha mengingat-ingat kembali wajah Arkan.

#kira-kira siapa ya wanita itu?
Jangan lupa vote dan komennya
Terimakasih 🤗🥰

Jalan Surgaku [Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang