Bab 10(undangan)

34 5 0
                                    

Happy Reading
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komen🤗

    Seperti biasa Arkan selalu melakukan shalat tahajud di sepertiga malam. Sekitar jam dua lebih ia mulai terbangun. Ia pun mulai beranjak dari tempat tidurnya secara perlahan karena tak ingin membuat Nara terbangun. Ia paham bahwa Nara sudah cukup lelah karena Arfan sering terbangun entah karena lapar atau buang air kecil dan sebagainya. Belum lagi jika Arfan tidak bisa tidur kembali, tidak hanya lelah namun Nara harus menahan rasa kantuk yang ia rasakan.

Ia semakin mengerti mengapa derajat seorang ibu begitu tinggi, tidak hanya ia harus mengandung selama sembilan bulan, melainkan dimana saat mengandung perempuan akan mengalami banyak kesulitan. Ada sebagian dari mereka yang bahkan selalu muntah ketika makan hingga kondisi nya tidak begitu fit. Bahkan sulit untuk bergerak bebas entah ingin duduk atau bahkan saat ingin berdiri dari duduknya. Arkan masih terus memandangi wajah lesu Nara yang tertidur pulas.

“Ya Allah jadikanlah hamba suami yang baik, yang dapat menuntun istri dan anak hamba menjadi hamba yang dekat kepadamu,” harap Arkan.
Ia melangkah ke arah pintu dan mengambil baju kokohnya yang di gantung di dinding di samping pintu. Arkan pergi ke kamar mandi dan  mengambil wudhu’ kemudian melaksanakan shalat malam. Untuk shalat Sunah Arkan memang melaksanakan di dalam kamar. Hal ini juga bertujuan agar setelah selesai shalat Arkan bisa mengaji di kamarnya. Sebagai mana keutamaan tempat yang di gunakan mengaji.
Rumah yang dibacakan Al-Qur’an ,1) akan terasa luas bagi penghuninya, 2) akan dihadiri/dipenuhi oleh para malaikat, 3) setan akan pergi meninggalkan rumah tersebut, 4) akan banyak kebaikan dalam rumah tersebut. Satu persatu mulai dari shalat tahajud, Hajad, bahkan taubat hingga withir Arkan laksanakan. Tak lupa ia bermunajat kepada Allah serta berdoa untuk kebaikan keluarga juga pesantren yang ia dan keluarganya bina. Selesai berdoa ia mulai mengambil Al-Qur’an dan membacanya dengan penuh penghayatan. Salah satu keutamaan Al-Qur’an adalah (barang siapa yang ingin bercakap-cakap dengan Allah maka hendaklah ia membaca Al-Qur’an (HR, Abu Hurairah) Setelah sekitar lima lembar suara tahrim mulai berbunyi. Bacaan tahrim adalah bacaan yang dikumandangkan di masjid sesaat sebelum adzan. Bacaan tarhim ini berupa shalawat yang biasa bergema sebelum adzan subuh dikumandangkan. Segera Arkan menutup Al-Qur’an yang ia baca. Di situ Arkan mulai membangunkan Nara untuk melaksanakan shalat subuh.

“Ya Mas,” ucap Nara sambil perlahan membuka matanya.

“Sana cepat mandi sebentar lagi shalat subuh,” ucap Arkan dengan lembut.

Nara bangun dari tidurnya dan mulai duduk dengan masih setengah sadar. Arkan pamit ke mushalla lebih dulu.
Nara mengangguk. Ia mulai beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah ke arah baby bed untuk melihat Arfan.

“Nak Ummi shalat dulu ya,” ucap Nara sambil memperhatikan anaknya yang tengah tidur itu.  Nara menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah membersihkan diri dan berwudhu. Terlihat Arfan yang masih tertidur pulas. Nara pun melaksanakan Shalat subuh dan tak lupa ia melaksanakan shalat qabliyah yaitu shalat sunah dua rakaat yang di laksanakan sebelum shalat subuh(wajib). 
Nara memilih shalat sendiri di kamar karena seperti Ummi Arofah juga Ummi Safa bahkan Aiyana shalat di mushalla sehingga ia tidak mungkin meninggal Arfan tanpa seorang pun, jika ada salah satu dari mereka yang tidak ke mushalla seperti mereka tengah berhalangan maka Nara akan shalat di Mushalla namun terkadang Arkan sesekali shalat berjamaah bersama Nara di kamar mereka. Selesai berdoa tak lupa Nara bermunajat kepada Allah. Ia benar-benar bersyukur mendapat suami yang Shaleh juga penyayang bahkan suami yang tidak hanya tulus menyayangi dirinya namun juga anaknya.

“Masih jam lima kurang, lebih baik mengaji sebentar, Arfan juga masih tidur,” ucap Nara seraya mengambil Al-Qur’an kemudian membacanya.

sekitar lima belas menit ia menutup Al-Quran nya. Setelah berganti baju ia mulai mencarikan kemeja yang cocok yang akan di kenakan Arkan paginya nanti.

“Ummi bantu Nenek Safa dulu ya,” ucap Nara pada Arfan yang masih tidur.

Ia keluar dan berpamitan kepada Ummi Arofah untuk membantu Ummi Safa memasak di dapur santri.

“Tapi apakah kondisi kamu sudah baik-baik saja?” tanya Ummi Arofah khawatir.

“Nara baik-baik saja Ummi jika hanya memasak Nara bisa.”

“Baiklah, tapi jangan yang berat-berat,” pesan Ummi Arofah.

“Arfan masih tidur Ummi, jika menangis tolong gendong ya Ummi,” pinta Nara dengan wajah berharap.

“Tentu saja, kamu tidak perlu khawatir, Arfan kan cucu Ummi.”

Nara pun pergi ke dapur para Santri. Melihat Dinda lebih banyak mengobrol dengan Nara dan terlihat Dinda begitu nyaman bersama Nara, Ummi Safa merasa kesal.

“jika kalian bicara terus, maka ini tidak akan selesai-selesai,” tegur Ummi Safa.

“Maaf Ummi,” ucap Nara.

“Ayo kamu goreng tempenya,” perintah Ummi Safa kepada  Dinda.

Dinda mulai menggoreng tempe. Setelah satu jam lebih berada di dapur akhirnya pekerjaan mereka selesai.
Dinda biasanya masak bersama Helmia juga Maya namun Helmia tengah sakit dan Maya pulang. sehingga ia harus membawa  makanan ke tempat makan para santri sendirian.
Ummi Safa meminta Nara membantu Dinda namun Dinda melarang Nara membantunya. Ia lebih baik meminta bantuan yang lain atau bolak balik mengantar makanan itu. Tempat makan santri tidak begitu jauh hanya butuh +- 50 meter dari dapur. Dinda ingat sesaat ketika Ummi Safa menyuruhnya mengambil kunyit di belakang pesantren yang mana di belakang pesantren ada tanaman seperti kunyit lengkuas dan lain-lain nya.

*flashback on*

“Dinda,” panggil Arkan.
Dinda menghampiri Arkan.

“Kamu biasanya sama Helmi masak di dapur, tolong kamu jaga Nara, jangan biarkan Ummi Safa membuat dia mengerjakan hal yang berat-berat,” peringat Arkan.

“Baik Gus,” ucap Dinda mengiyakan sambil menunduk kan wajahnya.

*Flashback off*

“Nara ayo sana bantu Dinda,” perintah Ummi Safa.

“Tidak perlu,” tolak Dinda seraya mengangkat nampan yang berisi beberapa piring juga sarapan para santri.

Dinda mulai mengangkat satu persatu bahkan Dinda meminta bantuan beberapa santri lainnya. Melihat sudah ada yang membantu Dinda, Nara kembali ke rumah untuk sarapan bersama Arkan dan keluarganya. Melihat Nara yang datang Arkan langsung mempersilahkan Nara bahkan menarik kan kursi untuk Nara.

“Tidak perlu berlebihan seperti itu,” sungut Ummi Safa.

“Ya Mas, tidak perlu,” sambung Nara.
“Tidak apa-apa kamu kan istri saya, jadi wajar jika saya memperlakukanmu dengan baik,” ucap Arkan.

Di tengah-tengah mereka sarapan terdengar suara tangisan Arfan. Melihat Nara yang belum selesai, Arkan melarang Nara menghampiri Arfan, karena ia sendirilah yang akan melihat Arfan di kamar mereka.

“Tapi mungkin Arfan lapar Mas, jadi biar saya yang lihat Arfan,” ucap Nara menolak saran Arkan.

“Baiklah.”

Nara menuju kamarnya untuk melihat Arfan. Terlihat Arfan sudah terbangun bersamaan dengan tangisannya. Nara menggendongnya untuk menyusui putranya itu. Tak berselang lama Arkan masuk ke kamar mereka.

“Kenapa Mas kesini?”

“Mas sudah selesai sarapannya.”

Arkan mulai menyiapkan beberapa berkas yang harus ia bawa ke universitas dimana ia ingin menjadi dosen.
Sedangkan Nara masih sibuk mengurus Arfan dimana ia harus memandikan Arfan terlebih dulu. Saat telah selesai memandikan Arfan terlihat jika Arkan sudah berangkat. Nara memakai baju terlebih dulu dan menaruh Arfan di ranjangnya dengan memberinya mainan agar tidak rewel, sedangkan Nara membereskan  beberapa berkas yang masih berserakan di atas meja.

“Biasanya Mas Arkan sangat rapi, mungkin dia buru-buru sampai tidak sempat membereskan mejanya.” keluh Nara tak percaya.

Namun sebuah undangan terjatuh dari sebuah buku yang ada di meja. Nara mengambil undangan itu, ia mencoba melihat undangan siapakah itu.
Melihat nama yang tertera dalam undangan itu, tubuh Nara langsung gemetaran dan seakan tak ada tenaga untuk berdiri.

*Kira-kira undangan apa ya?🤔

Jalan Surgaku [Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang