Bab 21 (perubahan Ustadz Qasim)

29 2 0
                                    

     Happy Reading

    Nara membuka pintu ruang Guru, namun langkahnya terhenti saat melihat seorang yang ada di dalam ruangan itu. Ia hanya mematung di pintu tanpa sepatah kata pun.
“Mbak Nara, sudah lama di situ?” Ucap nya saat melihat Nara hanya diam di ambang pintu dan juga langsung beranjak dari duduknya sambil menyusun buku yang akan ia bawa untuk mengajar.
“Saya baru selesai.”
“Oh, silahkan masuk, saya akan keluar mengajar sebenarnya saya sudah mau ke kelas satu, tapi saya lihat Mbak Nara belum selesai mengajar jadi saya menunggu disini saja,” terang orang itu yang ternyata Ustadz Qasim.
“Tidak apa-apa,” jawab Nara.
“Kalau begitu saya permisi keluar,” pamit Ustadz Qasim seraya melangkah keluar bersamaan dengan Nara yang juga melangkah masuk ke dalam sehingga bahu mereka tak sengaja bersenggolan dan hampir saja membuat Nara terjatuh, namun dengan sigap ustadz Qasim menangkap tubuh Nara. Kedua mata mereka langsung saling bertatapan, namun pikiran Nara langsung teringat pada Arkan dan dengan cepat melepas pegangan Ustadz Qasim.
“Maaf,” ucap Ustadz Qasim sambil menunduk.
“Tidak apa-apa,” jawab Nara singkat dengan juga menundukkan pandangan nya.
Tanpa perlu menunggu waktu lagi Ustadz Qasim keluar dari ruangan itu. Dada Nara benar-benar merasa berdetak kencang, takut dan kaget semua ia rasakan.
“Ya Allah, hamba benar-benar tak sengaja bersentuhan dan berpegangan dengan ustadz Qasim,” keluh Nara yang merasa bersalah karena telah bersentuhan dengan pria yang bukan mahramnya. Hingga suara handphone nya mengagetkan dirinya, terlihat sebuah pesan dari Arkan.
Istriku, semangat mengajarnya
Itulah teks yang di tulis Arkan.
Ia membalas pesan Arkan.
     Mas Arkan juga
Disisi lain Ustadz Qasim justru menjadi memikirkan Nara, seakan wajah Nara selalu muncul dalam pikirannya sekalipun berusaha menutup matanya.
“Ada apa dengan saya, mengapa saya selalu membayangkan wajah Mbak Nara?” Tanya Ustadz Qasim kepada dirinya sendiri.
Hari terus berganti hari, namun entah semakin lama Ustadz Qasim seakan semakin terus memikirkan Nara, bahkan seakan ia ingin terus bertemu dengan Nara. Perasaan tak wajarnya membuatnya seakan frustasi. bagaimana tidak, Nara adalah wanita yang sudah bersuami dan bahkan ia istri dari anak orang yang telah menyelamatkan hidupnya, menyayanginya seperti putranya sendiri.
“Tidak boleh, ini tidak boleh terjadi, ingat Mbak Nara itu siapa!” ujar Ustadz Qasim berusaha menyangkal apa yang ada di dalam fikiran nya.
Tak ingin perasaannya semakin tak karuan, setiap jam istirahat, Ustadz Qasim tak lagi ada di ruang guru karena tak ingin bertemu dengan Nara, meski di jam istirahat ada banyak guru-guru yang lain, namun ia berusaha agar apa yang ia takutkan tidak benar-benar terjadi.
“Kenapa ya dua Minggu terakhir ini Ustadz Qasim lebih memilih istirahat di pesantren?” tanya seorang guru di sana.
“Entah, dua Minggu ini Ustadz Qasim terlihat aneh,” sambung ustadzah Aliya.
“Mungkin dia terlalu lelah, karena kan sebelumnya harus mengajar dua pelajaran dalam waktu bersamaan ketika menggantikan Ustadz Arkan,” sambung Ibu Marsya, guru mata pelajaran matematika itu.
Selesai mengajar, segera Nara pergi tempat santri putri dimana Arfan berada di sana bersama  Hilmia.
“Terima kasih ya! Telah menjaga Arfan,” ucap Nara penuh rasa terima kasih.
“Sebenarnya dari pagi itu Ummi Arofah yang jaga, saya baru jaga jam sepuluh,” jelas Hilmia.
“Jadi Ummi yang jaga?”
“Ya Mbak, Ummi Arofah sering membantu kami menjaga Arfan, tapi bukan hanya Ummi Arofah tapi....” ucapan Hilmia terhenti.
“Tapi apa?” tanya Nara.
“Ummi Safa sering menggendong Arfan, tapi jika ada saya, Ummi Safa akan berkata, kamu kemana saja, seharusnya kamu yang menjaga Arfan, tapi kamu pergi-pergi terus,” ucap Hilmia menirukan logat bicara Ummi Safa yang marah-marah.
“Padahal saya lihat, ketika saya tidak ada, Ummi Safa terlihat sangat perhatian kepada Arfan,” lanjut Hilmia.
Nara tersenyum, kemudian berkata.
“Ummi Safa itu sebenarnya baik.”
“Ya benar kata Mbak Nara, tapi Ummi Safa itu sangat mengesalkan,” sahut Hilmia.
“Mau seperti apa Ummi Safa, beliau itu adalah adik dari guru kamu, kamu harus tetap hormat kepada beliau, karena berapa banyak ilmu yang kita punya jika tidak barokah itu tidak akan ada manfaatnya,” tutur Nara menasehati Hilmia.
“Ya Mbak.”
Nara pun kembali ke pesantren dengan membawa Arfan menggunakan kereta dorong. Saat akan sampai di rumah ia tak sengaja berpapasan dengan Ustadz Qasim dan Manaf, Disitu Ustadz Qasim terlihat bingung membuat Nara juga Manaf heran.
“Ustadz Qasim kenapa?” tanya Manaf.
“Maaf saya buru-buru, saya permisi,” pamit Ustadz Qasim seraya bergegas pergi.

Nara dan Manaf hanya saling melihat satu sama lain dengan ekspresi bingung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nara dan Manaf hanya saling melihat satu sama lain dengan ekspresi bingung.
Keesokan harinya.
Nara yang merasa ada yang aneh dengan Ustadz Qasim akhir-akhir ini, akhirnya ia memberi tahu Arkan tentang hal itu.
“Saya akan menanyakannya nanti malam, sekarang saya masih harus mengajar ke kampus,” ujar Arkan sambil merapikan dasinya.
Melihat Arkan yang terlihat buru-buru memakai dasi hingga dasinya terlihat miring, Nara hanya tersenyum.
“Kamu kenapa?” tanya Arkan bingung.
Nara pun melangkah ke arah Arkan dan memperbaiki dasi suaminya itu.
“Jangan buru-buru Mas, itu tidak baik,” ucap Nara setelah selesai memperbaiki dasi Arkan.

“Saya rasa, saya harus membuat dasi saya  berantakan setiap hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Saya rasa, saya harus membuat dasi saya  berantakan setiap hari.”
Wajah Nara langsung cemberut.
“Dari pada wanita lain yang perbaiki dasinya,” ledek Arkan.
“Jangan pulang sekalian,” balas Nara dengan ketus.
Arkan tersenyum dan memeluk Nara.
“Kamu adalah bidadari surgaku, untuk apa saya melirik wanita lain.”
“Sudah berangkat, kenapa sekarang menjadi so sweet seperti ini,” ujar Nara seraya melepas pelukan Arkan.
“ Ya sudah saya berangkat, Assalamualaikum,” pamit Arkan.
“Waalaikumsalam.”
Arkan pun berangkat, terlihat Manaf juga sedang ingin berangkat ke Kampus, Arkan pun mengajak mereka berangkat bersama.
Di perjalanan Arkan menanyakan soal Ustadz Qasim yang sekarang cenderung menyendiri. Ustadz Qasim memang tidak banyak bercanda, namun ia cukup bergaul dengan banyak santri. Namun akhir-akhir ini terlihat ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar.
“Para santri juga mengatakan jika Ustadz Qasim sering tidak fokus saat mengajar,” terang Manaf.
“Apa  Ustadz Qasim ada masalah?”
“Entah lah Gus.”
“Seharusnya saya harus bisa lebih dekat dengan Ustadz Qasim, Ummi selalu menyuruh untuk lebih dekat Ustadz Qasim, meski kami tidak punya hubungan darah, Ummi dan Abi telah mengangkat dia sebagai anak secara hukum negara, dan menjaga Ustadz Qasim juga bagian dari tanggung jawab saya,” batin Arkan merintih.
Di ketahui Ustadz Qasim masuk pesantren di usianya yang ke dua belas tahun, sebagai anak yatim piatu, hingga ketika usia empat belas tahun Kyai Anwar mengadopsi nya sebagai Anak. Namun ia tetap tinggal di kamar santri namun terpisah dari santri lainnya, karena Ustadz Qasim sendiri yang memilih tinggal disana.
“Tapi jika saya bertanya, Ustadz Qasim tidak akan mengatakan apa pun,” lanjut Arkan.

#bagaimana jika Arkan mengetahui semuanya?
Jangan lupa vote dan komennya . terimakasih

Jalan Surgaku [Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang