Langkah Arkan terhenti seraya mengalihkan pandangannya pada suara panggilan itu.
Ya wanita itu ada Sofia.
Arkan kembali menutup pintu mobilnya. Saat Sofia mulai semakin dekat ke arahnya.
“Maaf ada apa?” Tanya Arkan memulai pembicaraan.
“Saya ingin membicarakan soal Nara,” tutur Sofia.
“Ada apa dengan Nara?” Tanya Arkan kembali.
“Apa pun masa lalu mu, saya harap kamu tidak merahasiakan apa pun dari Nara.”
Arkan masih tidak paham dengan arah pembicaraan Sofia.
“Aulia Karin, siapa dia?”
Pertanyaan Sofia berhasil membuat mata Arkan membulat.
“Kamu tidak perlu menjawab, karena itu bukan urusan saya, tapi berkatalah dengan jujur, tentang wanita itu kepada Nara,” ungkap Sofia dengan ekspresi wajah yang kecewa.
“Dari mana kamu tahu soal Karin?”
“Nara, dia menemukan undangan yang mana undangan itu adalah undangan pernikahan dari Arkan Habri Wildhan dan Aulia Karin,” terang Sofia.
“Saya permisi Assalamualaikum,” pamit Sofia seraya melangkah pergi meninggalkan Arkan yang masih mematung sendirian.
“Waalaikumsalam,” jawab Arkan yang masih dengan pandangan kosong.
Arkan mulai memasuki mobilnya tapi belum juga menyalakan starternya hingga Ibu Wati yang keluar dari rumah mengetuk pintu mobilnya karena tak kunjung berangkat.
“Ya Bu, Arkan sudah mau jalan, hanya mobilnya sedikit bermasalah tadi,” terang Arkan akhirnya mulai menyalakan starter mobilnya. Di sepanjang perjalanan ia berpikir bagaimana ia menjelaskan kepada Nara. Ia memang mulai mencintai Nara, namun ia juga belum benar-benar melupakan Karin, karena hal itulah ia tidak mengatakan kepada Nara bahwa dirinya pernah hampir menikah namun gagal.
Setiba di rumah sakit ia seakan berat untuk melangkahkan kakinya menemui Nara. Ia masih berpikir apakah ia harus menjelaskan sekarang atau tidak.
“Kenapa lama?” tanya Nara pada Arkan.
“Maaf, karena sedikit lama, Ibu membawakan kita sarapan,” tutur Arkan seraya menunjuk makanan yang ia bawa.
“Mas Arkan belum sarapan di rumah?”
“Tidak, saya ingin sarapan di sini saja.”
Mendengar ucapan Arkan, Nara merasa senang. Keduanya mulai sarapan bersama di samping Arfan yang masih di infus. Arkan menyuruh Nara duduk, ia mulai menghidangkan sarapan keduanya. Nara merasa tidak nyaman karena Arkan justru yang melayani dirinya.
“Kamu pasti lelah, jadi kali ini biarkan saya yang melayanimu,” ucap Arkan sambil tersenyum.
Keduanya mulai sarapan di tengah-tengah obrolan keduanya, Arkan mulai membuang napas.
“Saya ingin mengatakan sesuatu,” ucap Arkan dengan wajah serius.
“Katakan saja.”
Arkan masih mengumpulkan keberanian, berulang kali ia menarik napas dan membuangnya kembali. Hingga akhirnya ia mulai kembali melanjutkan apa yang ingin di ia sampaikan.
“Sebenarnya saya pernah sem.”
“Assalamualaikum,” ucap kyai Anwar dan Ummi Arofah bersamaan saat membuka pintu ruang rawat Arfan, hingga membuat Arkan menghentikan apa yang ingin ia sampaikan pada Nara. Dengan cepat Nara langsung beranjak dari duduknya untuk mencium tangan kedua mertuanya.
“Bagaimana keadaan Arfan?” tanya Ummi Arofah.
“Alhamdulillah Mi lebih baik,” jawab Nara.
“Oia Arkan besok kamu mengajarkan? Tanya Kyai Anwar.
“Ya Bi.”
“Jika besok mengajar, lebih baik nanti sore kamu pulang, biar Abi dan Ummi yang temani Nara,” usul Kyai Anwar.
“Baik Bi,” jawab Arkan kembali.
Arkan sebenarnya ingin punya waktu berdua dengan Nara untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Ia tidak ingin Nara berpikir sesuatu hal yang buruk tentang dirinya dan Karin.
Jam telah menunjukkan pukul 16:13 WIB, Kyai Anwar meminta agar Arkan segera kembali ke pesantren agar tidak terlalu malam. Ia masih terdiam.
“Tidak perlu khawatir, pulanglah,” pinta Nara seraya memegang pundak Arkan.
Arkan mengangguk.
“Arkan menunggu Ayah dan Ibu datang sekalian pamit kepada mereka,” Tutur Arkan.
“Oh ya, Abi lupa,” ujar kyai Anwar.
“Ayah dan Ibu sebentar lagi sampai,” sambung Nara.
“Nara, bisakah kita bicara sebentar,” ajak Arkan seraya mengajak Nara keluar dari ruang rawat Arfan.
Nara pun keluar mengikuti langkah Arkan, sambil menyusuri koridor rumah sakit, Arkan mulai membahas tentang undangan yang di temukan Nara.
“Maafkan saya, saya tidak mengatakan padamu, jika dulu saya hampir menikah, namun saya tidak bermaksud menyimpan undangan itu, hanya undangan itu lupa tidak saya buang,” jelas Arkan.
“Saya tidak marah, hanya saya bertanya-tanya, mengapa Mas Arkan tidak mengatakan hal itu, terkadang saya berpikir apakah Mas Arkan masih mencintainya,” ucap Nara menghentikan langkahnya seraya menoleh ke arah Arkan.
“Tidak seperti itu, hanya saja saya,” belum selesai Arkan melanjutkan ucapannya, kedatangan Ibu Wati juga Bapak Rozak berhasil membuat keduanya terdiam.
“Kalian sedang apa di luar?” Tanya Pak Rozak.
Keduanya saling menoleh satu sama lain. Keduanya mulai bingung apa yang harus di katakan.
“Kenapa kalian berdua hanya diam?” tanya Bapak Rozak kembali.
“Sebenarnya Mas Arkan ingin pulang, hanya saja dia ingin menunggu Ibu dan Ayah,” tutur Nara.
“Ya, besok Arkan harus mengajar, jadi Arkan harus balik ke pesantren,” tutur Arkan.
“Tidak apa-apa, ada Ayah dan Ibu yang temani Nara.”
Arkan pun pulang ke pesantren, namun perasaannya belum benar-benar merasa tenang, di tambah Nara menganggap dirinya masih mencintai Karin.
Ia merasa sangat bodoh karena tak membuang undangan pernikahannya.
“Saya harus mengecek semua isi lemari atau pun buku-buku saya,” putus Arkan mulai mengecek satu persatu. Ia tak ingin ada sedikitpun kenangan tentang Karin tertinggal di kamarnya. Ia mulai membongkar isi lemarinya terlebih dahulu dari baju celana hingga sarungnya pun ia keluarkan. Mata mulai menatap sebuah kerudung berwarna hijau, ia mulai mengambilnya dengan pelan. Ia mengingat dimana ia dulu pergi ke pasar bersama Alvaro untuk membeli kerudung itu.
*Flashback on*
“Dia suka warna hijau, apakah ini bagus?” tanya Arkan pada Alvaro.
“Bagus, Karin sangat suka warna hijau, dan menurut saya dia akan suka itu,” jawab Alvaro.
“Saya akan memberikannya nanti setelah kami menikah,” tutur Arkan dengan terus tersenyum memandangi kerudung yang baru saja ia pilih.
*Flashback off*
“Saya tidak mungkin membuangnya namun saya juga tidak boleh menyimpannya,” ucap Arkan bingung sambil memegang kerudung yang ia beli hampir enam tahun lalu itu.
Ia pun mengingat sesuatu, iya dia menemui Manaf ke kamarnya.
“Ada apa ya Gus Arkan kesini malam-malam?” tanya Manaf bingung.
Arkan masih menyembunyikan kerudung yang ia pegang.
Ia mulai duduk di pinggir tempat tidur Manaf dan menyodorkan kerudung yang ia pegang. Manaf membuka kerudung segi empat itu dengan penuh heran karena ia seorang laki-laki, jadi ia tidak mungkin menggunakan hijab.
“Kamu bisa memberikan itu kepada Ibu atau adikmu saat mereka menyambangimu,” ucap Arkan.
“Ini bagus, kenapa Gus Arkan tidak memberikan kepada Mbak Nara?” tanya Manaf penasaran.
“Apakah saya harus memberikan Ibumu yang tidak bagus?” ujar Arkan balik memberikan pertanyaan.
“Tentu saja tidak, tapi terima kasih Gus, saya akan memberikan ini kepada adik saya, kalau ibu saya terlalu Tua memakai ini,” ungkap Manaf yang menurutnya Ibunya tidak cocok memakai kerudung tersebut.
“Ya sudah istirahatlah, besoknya bukannya kamu kuliah masuk pagi,” ucap Arkan seraya menepuk pundaknya dan bergegas keluar dari kamar Manaf.
Langit mulai terang, bunyi ayam berkokok sudah mulai bersahutan. Fajar di langit mulai muncul, segera para santri berbondong-bondong ke arah mushalla untuk melakukan shalat subuh berjamaah. Salah satu aturan di pesantren Al-Fallah adalah kewajiban shalat berjamaah, dan mereka yang melanggarnya tentu akan mendapatkan hukuman.
Terdapat beberapa dari mereka yang telat bangun hingga Arkan memberinya hukuman.
“Sapu halaman pesantren, kamu bersihkan sekolah,” titah Arkan.
“Berdiri di lapangan saja ya,” pinta mereka.
“Lakukan saja,” tegas Arkan dengan wajah yang serius.
“Tapi Gus,” keluh mereka.
“Jam tujuh kalian harus masuk sekolah, Assalamualaikum,” pamit Arkan meninggalkan mereka yang masih dalam keluhnya.
Arkan mulai bersiap-siap untuk sarapan bersama Ummi Safa dan Aiyana. Seperti biasa Ummi Safa akan memberikan ocehan karena Nara tidak ada.
“Arfan kan sakit, dia tidak mungkin meninggalkannya, dan tolong bukankah Ummi sudah meminta maaf tapi mengapa Ummi masih terus membicarakan Nara seperti ini,” tegur Arkan membuat Ummi Safa tak berani bicara kembali.
“Maafkan Ummi,” ungkapnya kemudian.
“Aiyana apa kamu sudah sarapannya?” Tanya Arkan pada Aiyana.
“Sudah Mas,” jawab Aiyana.
“Ya sudah kalau begitu kita langsung berangkat, biar Mas antar.”
“Arkan, tapi kamu sarapan sedikit sekali, biasanya kalau pagi kamu nambah,” ucap Ummi Safa.
“Tidak perlu, Assalamualaikum,” pamit Arkan seraya mencium tangan Bibik nya itu tanpa senyum. Terlihat jika Arkan marah karena ucapan Ummi Safa yang seakan selalu menyudutkan Nara di setiap ada kesempatan.
Ia merasa seakan setiap ucapan yang keluar dari mulut Ummi Safa menjadi luka untuk Nara.
“Sudah sampai, nanti pulangnya biar di jemput Hilmia, karena Mas belum selesai mengajar.”
“Ya tidak apa-apa.”
“Ya sudah masuk sana,” titah Arkan pada Adiknya itu.
Aiyana pun masuk ke dalam kelasnya.
Arkan membalikkan tubuhnya.
Matanya melotot saat tubuhnya hampir bertabrakan dengan seorang wanita yang akan masuk ke arah sekolah.
“Arkan,” ucap Wanita itu.
“Kakak kenal dengannya?” tanya adik dari perempuan itu yang menggunakan seragam sekolah.
“Dia teman kakak, ya sudah kamu masuk sana nanti telat,” titah wanita itu.
“Baik kak,” ucap adik kecil itu kemudian berlari-lari kecil menuju kelasnya, namun tak berselang lama gadis berusia tujuh tahun itu pun terjatuh hingga membuat kakinya kesakitan. Segera wanita itu juga Arkan menghampiri gadis kecil itu.
“Kiran kamu apanya yang sakit?”
“Kaki ku sangat sakit,” keluh gadis kecil itu yang terus menangis.
“Karin lebih baik bawa Kiran ke rumah sakit, atau tukang pijat,” saran Arkan kepada wanita itu yang ternyata Karin.
#terimakasih sudah mampir, jangan lupa vote dan komenannya 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Surgaku [Telah Terbit)
Romance"Arkan memang menyayangi Ummi Safa, tapi Nara adalah istri Arkan." Selain akan terbit cetak Jalan Surgaku juga telah terbit di ebook 👇 https://play.google.com/store/books/details/Zeyn_Seyi_Jalan_Surgaku_Semanding_Books?id=e-WzEAAAQBAJ HARAP DI FOLL...