Bab 18(Arkan ke Bekasi)

29 3 0
                                    

   Happy Reading
  Arkan terdiam di teras depan rumah, ia benar-benar merasa menyesal karena tidak pernah berkata jujur kepada Nara tentang dirinya yang hampir menikah dengan Karin. Ia mengerti jika kejujuran adalah sesuatu hal penting dalam sebuah hubungan. Bukan karena mencurigai namun itulah pentingnya dalam sebuah hubungan.

“Saya harus menjemput Nara ke Bekasi,” putus Arkan yang akan beranjak dari duduknya, namun langkahnya terhenti saat Ummi Arofah memegang lengannya yang baru saja keluar dari dalam rumah.

“Berhenti,” titah Ummi Arofah.

“Kenapa Ummi menghentikan Arkan?”

Ummi Arofah mengingat kejadian tadi semalam di  rumah Bapak Rozak.

*Flashback on*

Di tengah malam Ummi Arofah terbangun, ia mulai beranjak dari ranjangnya menuju kamar mandi, terdengar seperti suara tangisan dengan sangat lirih. Ia mencoba mendekat ke arah suara tangisan itu. Terlihat sebuah pintu kamar terbuka sedikit, ia semakin mendekat ke arah kamar Nara, di balik celah, terlihat Nara menangis di pangkuan Ibu Wati.
“Kenapa kamu menangis, apa kamu tidak bahagia dengan Arkan?”
Nara mengangkat kepalanya seraya berkata.

“Nara hanya merindukan Ibu,” tegas Nara meyakinkan.

Melihat itu Ummi Arofah mengerti, ada sesuatu hal yang terjadi antara menantu dan putranya. Namun mereka memilih untuk diam.
Saat pagi sebelum sarapan terlihat Nara membereskan pakaiannya dan mulai memasukkan satu persatu ke tasnya. Ummi Arofah mendekat ke arah Nara.

“Nara,” ucap Ummi Arofah yang baru saja masuk ke kamar Nara.

“Ummi, ada apa?” tanya Nara seraya mempersilahkan Ummi Arofah untuk duduk.

“Kamu tidak perlu ikut Ummi dan Abi pulang,” ujar Ummi Arofah membuat Nara terkejut
“Ummi bukan melarangmu ikut, hanya biar Arkan yang menjemputmu,” lanjut Ummi Arofah.
Nara menundukkan kepalanya, karena sebelumnya Ummi Arofah meminta Arkan tidak perlu datang, karena mereka lah yang akan membawa Nara ke Subang namun kini Ummi Arofah meminta Nara menunggu Arkan menjemputnya.

“Sayang, tunggu Arkan di sini ya,” ucap Ummi Arofah menenangkan Nara.

*Flashback off*

Mendengar itu Arkan kembali duduk. Ia merasa benar-benar telah menyakiti Nara. Ia telah mengambil Nara dari keluarganya untuk ikut mengabdikan hidupnya untuk dirinya dan keluarganya, namun ia justru membuat banyak air mata untuk Nara.

“Arkan akan menjemput Nara,” tegas Arkan
“Assalamualaikum, maaf Arkan tidak pamit pada Abi,” lanjut Arkan seraya mencium tangan Ummi Arofah.

“Waalaikumsalam,” balas Ummi Arofah.

Segera ia berlari ke arah mobilnya namun tiba-tiba suara deringan handphone di kantong celananya mulai terdengar.
Ia memasukkan tangannya ke kantong celananya, tertulis sebuah nama di layar handphone nya.
    Dekan
Itulah nama yang tertera di layar handphone nya.
Ia lupa bahwa ia punya kewajiban untuk mengajar.
Ia menarik napas dan mengangkat telepon dari dekan.

“Halo, Assalamualaikum,” ucap Arkan.

“Kenapa Ustadz Arkan belum datang, bukannya seharusnya ini sudah jam pelajaran?”

“Maaf tadi ada sedikit masalah, saya telah menuju ke sana,” jawab Arkan.
“Baiklah,” tutup si Dekan.

Dengan berat hati ia akhirnya menuju kampus karena bagaimanapun ia punya kewajiban yang harus ia jalankan. Meski hati sangat ingin segera bertemu dengan Nara, namun apalah daya kewajiban tetaplah kewajiban, ia tidak mungkin meninggalkan kewajiban karena masalah pribadi. Ia terus melajukan mobilnya menuju arah Universitas Subang. Karena pikirannya yang terus mengarah pada Nara, ia mulai sedikit tidak fokus.

Jalan Surgaku [Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang