19

1.3K 192 3
                                    

Chapter sembilan belas:

Hari setelah pesta tahunan Malfoy seperti....hilang. Lebih jelasnya, Harry tak mengingat itu. Ada sebuah lubang besar dalam memorinya dan kalau Harry itu normal, dia seharusnya khawatir. Tapi karena Harry adalah Harry dan dia imun terhadap omong kosong karena dia yang menemukan omong kosong, di tentu saja tak khawatir.

Yang dia ingat hanyalah tertidur di atas pangkuan Tom lalu bangun di atas loveseat, sendirian dan diselimuti dengan jubah abu-abu-- milik Tom, sepertinya--- dan itu masih hangat. Dia ingat kembali ke ballroom, tak menemukan Tom dan merengut sepanjang malam. Dia mungkin berdansa dengan Pansy semalam, tapi Harry tak yakin. Yang dia tahu kalau dia memakan sepotong treacle tart lagi dan apa yang terjadi selanjutnya, well, masih jadi misteri untuk Harry.

Mungkin dia bisa bertanya pada Draco, atau Ron, atau Hermione, atau siapapun itu. Tapi dia lebih memilih untuk tak tahu, bagaimana kalau dia melakukan hal yang memalukan? Dia harus pergi sekali lagi hanya untuk menghilangkan rasa malu itu.

Ah, dia berpikir, keputusan, keputusan.

"Hey," Harry berbalik untuk berbicara dengan Draco, yang seperti biasa, duduk di sampingnya saat sarapan, "Hari apa ini?"

Draco berhenti di tengah gigitan roti menteganya. Untuk beberapa saat dirinya mematung dan mulutnya tertutup. Anehnya matanya mulai berair dan tangannya bergetar saat dia meletakkan roti itu kembali ke atas piring.

"Kenapa?" tanya Harry, alisnya mengerut kebingungan. "Ada yang salah dengan wajahku lagi?"

"Kau kembali," kata Draco, suaranya penuh dengan kelegaan. "Kau pergi begitu lama dan ak--

"Harry, abaikan dia," suara Pansy dari bawah meja, melihat situasi. "Dia hanya bertingkah drama queen lagi. Kau tau dia seperti apa, yang dia butuhkan adalah perhatian,"

Draco menatap tajam pada gadis itu. Mulutnya terbuka untuk mengeluarkan balasan tapi Theo langsung memotongnya.

"Yeah," Theo mengangguk di samping Pansy, "Tak ada sesuatu buruk yang terjadi. Kau hanya menghilang di kepalamu selama empat hari," katanya, "Kurasa,"

"Dan kau tak bicara, hampir tak makan dan tidur. Tak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali," Tambah Blaise sambil membuka Daily Prophet dengan kerutan di bibirnya. "Oh good," gumamnya "Pacar ibuku ada di halaman enam. Mati. Lagi,"

"Itu mengerikan!" seru Draco, sepenuhnya mengabaikan Blaise. "Aku sangat kesepian,"

Tracey menghela napas. "Cukup," dia berdiri dan menata bukunya di lengan. "Aku pergi sebelum kalian semua bertengkar karena hal yang tak berguna,"

"Harry," panggil gadis itu berbalik ke arahnya. "Makanlah treacle tart. Itu akan membuatmu merasa lebih baik," Lalu dia meninggalkan meja dengan sebuah gumaman, "Aku seharusnya masuk ke Ravenclaw,"

"Bagus," Pansy mengerutkan hidungnya, tak terlihat menyesal sedikitpun, "Lihat apa yang sudah kau lakukan blondie, kau membuatnya pergi,"

"Dan apa kau yakin itu bukan kepribadian menjijikkanmu yang melakukannya?" sinis Draco, bibirnya membentuk sebuah seringai.

Harry memutar matanya dan meraih sepotong besar treacle tart. Saat para bayi pelahap maut bertengkar di sekelilingnya tentang ini dan itu, dia tak bisa untuk tak melewatkannya. Dia sudah melakukan itu sejak kapan? empat? lima hari? dan teman-temannya masih saja bodoh? sungguh lega.

Juga, treacle tart tetap luar biasa seperti biasa. Tracy benar. Dia sudah merasa lebih baik. Harry bersenandung, dengan bahagia tak peduli akan konsekuensi dari aksinya beberapa hari lalu.

"Apa hubungannya rambutku dengan semua ini?"

"Semuanya! Itu terlalu banyak gel!"

Walaupun, dia pikir ini seharusnya bisa lebih tenang. Oh well, kau kehilangan sesuatu, kau dapat sesuatu.

Tiga potong treacle tart termakan dan enam argumen berbeda kemudian, para Slytherin meninggalkan great hall dan pergi ke kelas pertama mereka. Dalam perjalanan ke sana, Draco membicarakan Pansy di belakangnya kepada Blaise, yang mana masih tak beralih dari daily prophet.

"Tak bisa dipercaya!" Pansy memberhentikan jalannya dan dengan cepat berbalik untuk menunjuk Draco. "Kau!" dia menggeram. "Berani-beraninya kau membicarakanku?"

"Aku?" Draco berpura-pura terkejut, tangannya memegang dada. Matanya melenar dan ekspresinya dibuat polos. "Mana mungkin," aktingnya sempurna, kalau bukan karena argumen tadi, Harry pasti sudah percaya

"Ini benar!" Pansy mengayunkan tangannya, gelang silvernya berkilat. Itu adalah hadiah yang diberikan Harry saat Natal dan kelihatannya bekerja cukup baik.

Theo menghela napas, panjang dan menderita. "Kita akan terlambat ke kelas," gumamnya. Dia tak terlihat khawatir sedikitpun soal keterlambatan, Harry menyimpulkan kalau dia hanya ingin kabur sebelum pertengkaran yang sebenarnya terjadi.

Sebelum Pansy bisa mengeluarkan tongkatnya untuk memantrai Draco, Harry melangkah dengan mata menyipit "Cukup," katanya, mengejutkannya nada bicaranya dingin. "Bertingkah yang baik, kita akan pergi ke kelas,"

Pansy dan Draco mengikuti Harry dengan cemberut yang sama, masih menggumamkan hinaan satu sama lain tapi sambil merajuk.

Di belakangnya, Blaise melipat Daily Prophet dan memasukkannya ke dalam tas. Dia menyerahkan satu galleon pada Theo, menghindari kontak mata saat melakukannya.

"Lihat?" Theo merangkul pundak Blaise. Tangannya berat dan hangat. "Aku benar kan, pacar barunya tak akan bertahan bahkan selama dua minggu,"

Blaise menjatuhkan lengan Theo dan mengikuti Harry. Dia mengabaikan Theo, "Aku membencimu,"

"Aw," Theo dengan cepat menyusul, senyumnya melebar dan giginya kelihatan. "Jangan seperti itu,"

Di posisi paling depan, Harry dalam hati mencaci dirinya sendiri. Dia terlalu kasar. Terlalu angkuh. Terlalu seperti dirinya yang dulu. Dan keduanya menurut? Benar-benar menurut? Kepadanya dari semua orang? Well, mereka masih saling mengejek tapi mereka lebih tenang sekarang, yang mana sebuah keajaiban.

Saat mereka tiba di kelas Charms, mereka sangat terlambat.

Tak mengejutkan tentu saja.

Selama pelajaran, Harry berkelompok dengan Hermione, membiarkan gadis itu mengalirkan teori apapun yang dia punya soal mantra yang ingin dia gunakan.

Harry hampir tak paham kata-katanya tapi gadis itu terlihat bahagia dan sungguh, itu yang paling penting. Agak disayangkan saat Seamus Finnigan mencoba mantra api sederhana, itu benar-benar meledak dan membakar alisnya habis.

Agak disayangkan juga saat dia jatuh dalam kemarahan Hermione yang mencacinya soal teknik yang dia gunakan.

"Kasihan Seamus," kata Ron, mengangkat tangan berdoa, "Kuharap dia masih hidup, Hermione bisa sangat menakutkan,"

Harry tertawa lepas, mengingat bagaimana di kehidupan yang lain gadis itu memukul Draco, menanggung begitu banyak dan masih menyelamatkannya berkali-kali dari bahaya, hanya untuk memarahinya setelah itu. "Kelihatannya begitu,"

++++++
harry: *hilang ingatan*
semua orang: *panik*
harry: *finger guns* whats up bITCHES
-------
seamus: *jadi dirinya sendiri*
hermione: aku kan menghancurkanmu
ron: *berdoa*
------
theo: ayo bertaruh berapa lama ibumu bertahan sebelum dia membunuh pacar yang selanjutnya
blaise: kenapa aku melakukan itu?
theo: karena kau bukan pengecut, iya kan?
------
pansy: aku akan mengeluarkan isi perut mu!!!
draco: tidak kalau aku yang mengeluarkan isi perutmu lebih dulu!
pansy: I'm a girl!!!!
draco: ??????

Harry. Exe Has Stopped WorkingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang