8

1.9K 276 10
                                    

Chapter delapan:

Well, Harry sudah bilang persetan dengan konsekuensi.

Dia tak berpikir hal itu akan muncul secepat ini

Peron sembilan tiga perempat penuh seperti biasa. Murid berkeliaran, keluarga yang melakukan perpisahan, familiar yang berisik di kandang mereka, mengeong saat mereka dengan mudah berlari di antara kaki orang orang dan parau saat mereka melompat dengan pemilik mereka mengejar mereka. Ada gagak hitam bertengger di bahu seseorang, laba-laba besar yang terkunci dalam kandang kecil dan bahkan hewan seperti tikus dengan kecerdasan tinggi di matanya dijaga seperti barang berharga. Harry juga melihat kadal bersisik putih dan ungu melilit leher seorang Ravenclaw dari ujung matanya.

Sayangnya, perhatian utamanya jatuh pada Ron Weasley dan Draco Malfoy-- yang berdiri di depannya, bertengkar. Ron sudah melihat Harry dari kejauhan dan datang dengan terjerembab ke depan, pipinya memerah saat dia bertanya bagaimana rambutnya menjadi hitam. Disaat yang sama, Draco muncul entah dari mana, mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya dengan superioritas. Sambil menghela napas, Harry mencoba menganalisis situasi.

Keluarga Malfoy berdiri tak jauh di sisi kanan Harry. Dia bisa melihatnya jika menolehkan kepala. Tatapan Lucius menyipit dan cengkeramannya erat pada tongkatnya. Narcissa berdiri di sampingnya, tangan di bahu Lucius sebagai dukungan. Harry tak memperhatikannya sedikitpun. Keluarga Weasley sebenarnya tidak terlihat, tapi masih bisa terdengar. Harry mendengar si kembar bercanda beberapa saat lalu dan Molly berteriak kencang. Mungkin mereka juga dekat.

Saat pertemanan dengan Ron (agak, bisa dibilang) dari hati, Draco mungkin dipaksa orang tuanya.

Itu tak penting, lagipula Harry kesepian.

"Biar kutebak," Draco mengerutkan bibirnya tak suka, mengamati Ron dari atas ke bawah. "Rambut merah dan jubah bekas? Kau pasti Weasley."

Ron membusungkan pipinya menantang. Harry pikir dia terlihat lucu saat melakukan itu. "Yang penting aku tidak pirang pucat," gumamnya rendah.

Sambil terbatuk untuk menyembunyikan tawanya, Harry dengan canggung menggosok bagian belakang lehernya sendiri.

Meski nostalgia dan normal melihat keduanya bertengkar, Harry lelah. Sangat lelah. Dan sejujurnya, dia tak ingin pergi ke Hogwarts dan teringat masa lalunya hanya karena Draco. Atau yang lain. Mengapa mereka tak bisa bersikap seperti teman baik? atau bahkan teman dekat? Sahabat?

Memutuskan apa yang dia inginkan, Harry menjewer telinga Ron dan Draco. Seketika pertengkaran mereka berhenti dan berubah menjadi paduan suara ow ow ow.

Menempatkan cemberutnya yang paling tidak senang, Harry menunggu dua orang itu untuk diam. Ketika mereka diam, dia membuka mulut dan berkata dengan lembut, "Kalau kalian tak berhenti bertengkar, tak satupun dari kalian boleh duduk denganku di kereta," lalu dia melepaskan telinga mereka dan meletakkan tangan di pinggang, hampir sama seperti Molly yang memarahi anak-anaknya.

"Sorry," Ron meminta maaf dan mengelus telinganya. Terdapat rona malu di wajahnya yang menyoroti freckles di wajahnya dengan indah.

Untuk sesaat, Draco terlihat kagum dan dia menggelengkan kepalanya untuk menjernihkan pikiran. "Aku juga minta maaf," katanya.

"Apa ini? apa ini? aku mencium bau seseorang yang malu." Verde menyembulkan kepalanya dari balik jubah Harry, menempelkannya ke bagian bawah rahang tuannya. Ketika dia melihat Ron, dia tampak senang. "Oh! itu si imut! aku ingin menciumnya lagi, Master, please. Please, please, please---"

"Alright," Harry memotong ucapan Verde dengan desahan lelah. "Here," katanya, mengulurkan si hitam-hijau pada Ron. "Verde bilang dia merindukanmu."

Harry. Exe Has Stopped WorkingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang