3

3K 354 1
                                    

Harry menjatuhkan wajahnya di kasur tempat dia sementara menginap. Dia menghela nafas lega, meringkuk di sekitar seprai lembut dan menenggelamkan kepalanya di bantal empuk. Tom, seorang bartender dan penjaga penginapan, awalnya terlihat skeptis padanya, tapi setelah Harry berjanji bahwa orang tuanya akan datang dalam beberapa hari, dia akhirnya mengalah dan  membiarkan Harry mendapatkan ruangan. Ada sebuah pertanyaan yang membuat canggung, tapi Harry hanya tersenyum dan memikatnya. Dia mengarang cerita soal orang tuanya seperti orang bodoh yang tersayang dan Tom hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Dia juga bertanya mengapa Harry datang sangat larut dan Harry tersenyum serta bergumam sesuatu tentang petualangan dan bagaimana kedua orang tuanya adalah seorang Gryffindor yang menginginkan dirinya untuk mencoba bepergian sendiri untuk pertama kalinya. Tom menelan kebohongannya dengan mudah, dan Harry hampir merasa sedikit bersalah.

Hampir

Malam itu, Harry tertidur lebih cepat. Mimpinya diisi oleh wajah wajah yang tak asing, bahkan ada kilatan mata merah dan senyum licik.

Ketika pagi tiba, Harry dengan pelan dan dengan enggan membuka selimut yang menutupi wajahnya. Dia berkedip, menutup mata dan berkedip lagi. Ada garis-garis sinar matahari yang mengambang melalui jendela dan menari di wajahnya. Dia mengerang dan menutup kembali wajahnya, berusaha untuk mengejar sisa-sisa mimpi. Ini seharusnya menjadi hal yang baik karena dia tak terbangun di tengah malam dengan tubuh bergetar dan suara parau dari teriakan kesakitan.

Dia mencoba mengingat apa yang telah dimimpikann tapi dari semua yang bisa dia ingat hanyalah sepasang mata merah. Harry cemberut sambil melempar selimut. Voldemort, dia pikir. Namanya saja menyisakan rasa pahit manis di mulut. Tapi mana mungkin mimpi Voldemort berarti baik? Harry mengerutkan hidung dalam ketidaksukaan dan melemparkan kakinya ke samping tempat tidur, menggosok matanya dengan buku jari tangan. Dia menguap. Diambilnya kacamata di nakas, Harry memasangnya di hidung. Perutnya bergemuruh keras dan Harry menjatuhkan kepalanya ke tangan sambil mengerang.

Apakah dia masih punya sisa uang? Dia sudah membayar tiga bus yang membawanya ke London. Dan kemarin malam dia sudah memakai entah berapa yang tertinggal untuk menginap selama dua hari. Jumlah rasa sakit yang dia rasakan membuatnya merasa mual, tapi dia senang Tom setuju menerima uang mugglenya. Menghela nafas lelah, Harry menyeret kakinya untuk bersiap. Tanpa uang, dia menyadari bahwa dia harus pergi ke Gringotts dulu. Sarapan bisa menunggu.

Setelah menggosok gigi, mencuci muka dan memakai  pakaian paling bagus yang ia punya— yang mana tak sepenuhnya bagus, tapi masih cukup. Itu pemikiran yang dihitung kan? Harry menatap pantulan dirinya di cermin dengan kerutan dalam di keningnya. Setiap orang yang melihatnya pasti dengan jelas berpikir 'Oh, lihat ada James Potter kecil' dan sejujurnya, itu benar-benar mengacaukan permainannya. Harry tak bisa mengakuinya, atau dia akan kacau.

Memiringkan kepalanya sambil berpikir, Harry akhirnya punya ide. Meskipun dia tak begitu yakin ini akan berhasil. Dia menyipitkan matanya pada dirinya sendiri di cermin dan memfokuskan sihir pada rambutnya. Dia membayangkan warna pirang cantik yang bagus. Pertama kali, tak terjadi apapun, Harry meluruhkan bahunya dalam kekalahan, tapi kemudian rambutnya mulai berubah dan sebuah kehangatan yang hanya pernah ia rasakan saat memegang tongkatnya mengalir tepat ke seluruh tubuh.

Harry berkedip sekarang, tertangkap basah. Well, karena sekarang rambutnya tidak lagi blonde. Tidak. Ini pink. Cerah dan mengembang. Semacam warna yang sama seperti yang Tonks punya terakhir kali dia lihat.

Shit

Sesenang senangnya Harry bahwa dia tidak akan terlihat seperti copy-an ayahnya, dia sekarang punya rambut pink yang mengerikan yang akan secara harfiah menarik perhatian seluruh orang.

Harry hanya bisa mengerang dan membuat dirinya sendiri frustasi.

Berjalan di Diagon Alley berarti Harry harus menghindari kumpulan penyihir yang bergosip dan keluarga serta murid-murid baru yang datang lebih awal untuk membeli kebutuhan mereka. Dia menghela nafas lelah ketika ia mencapai Gringotts. Tak seorang pun memandangnya lekat, yang mana... ini sedikit aneh. Harry selalu dipandang, dengan satu atau lain cara. Orang orang tak memandangnya dengan kecewa atau jijik atau semacam memuja adalah hal baru baginya. Hal itu terasa menyenangkan, sungguh.

Andai saja tetap seperti itu.

Pembicaraannya dengan Griphook begitu canggung, khususnya saat goblin itu meminta Harry kuncinya yang tentu saja dia tak punya. Tapi tak apa, karena tiga tetes darahnya mengidentifikasi bahwa dia Harry Potter dan dia dibawa melewati pintu yang sangat banyak.

"Kenapa kau tak punya kuncinya, Mr. Potter?" Ragnok bertanya, menatap ke bawah hidungnya tepat pada Harry yang menggeliat di kursi.

"Aku—well—umm" Harry mencoba menyusun kata-kata yang tepat. Great ones, dia merutuk  dirinya sendiri dalam hati, kalimat yang luar biasa sobat. Dia memerah di bawah tatapan tajam goblin dan menelan ludah. "Kurasa, um, Dumbledore memilikinya." Dia menelan sesak di tenggorokannya dan mengedipkan pandangannya di sekitar ruangan. Gelap, diisi dengan banyak benda. Potret-potret tergantung di seluruh ruangan.

"Dumbledore?" Ragnok bertanya.
"Mengapa dia memilikinya?"

Harry kembali menatap goblin itu. "Karena dia waliku...?" Dia berkata dengan nada tak yakin. Harry sangat ingat Dumbledore memilikinya dan memberinya ke Hagrid.

"Wali?" Goblin itu merendahkan pandangannya pada kertas kertas yang berantakan di atas meja.
"Dia tidak seperti itu, Mr. Potter"

"Oh," adalah sesuatu yang bisa Harry katakan. Suaranya begitu pelan, kecil dan nyaris hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Dia ragu jika Ragnok mendengarnya, tapi goblin itu mengeluarkan suara seperti dengungan. "Dan kau yakin Dumbledore punya kuncimu?" dia bertanya.

"Um, ya. Ya, aku yakin." Jawab Harry menganggukkan kepalanya.

Ragnok mengarahkannya dengan tatapan yang tidak berkedip. "Kupikir kita bisa mengambil itu darinya, tanpa sepengetahuan Dumbledore, dan mengembalikannya padamu?"

Harry berpikir sejenak. Menjilat bibirnya gugup, dia menggelengkan kepala. "Kurasa lebih baik jika kau membuatkan yang baru dan membatalkan yang lama." katanya. "Dengan harga, tentu saja." Harry cepat-cepat menambahkan.

Goblin itu mengeluarkan suara yang mirip dengungan dan menyeringai tajam, menunjukkan taringnya. "Ide yang bagus, Mr. Potter."

Memberikan senyuman gelisah, Harry tidak bisa untuk tak merasa kalau dia seperti membuat kesepakatan dengan iblis.

Happy Reading

Harry. Exe Has Stopped WorkingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang