Sera menghempaskan tubuhnya di atas ranjang begitu sampai di paviliun. Langit sudah gelap dan waktu makan malam sudah jauh terlewat. Nafsu makannya buyar entah kemana.
"Kenapa tidak ganti baju baru istirahat, Sera?"
Malas menjawab pertanyaan Davi, Sera hanya bergumam tidak jelas.
Ada apa dengan lelaki itu? Mengapa sikapnya terlihat protektif sepanjang hari?
"Dokter kan bilang, kamu harus jaga kesehatan dan asupan gizi, termasuk kebersihan diri. Ayo mandi, atau mau Mas lap disini? Mas bawakan baskon air hangat ya?" Davi berdiri di tengah paha Sera yang terbuka.
Mendengar usul suaminya, Sera menyipitkan mata dan memandang Davi yang sudah melepas kemeja linen dan berganti kaos dalam putih. Bahu bidang Davi tercetak dengan pas dan perut rata yang kencang.
"Mas, mengapa peduli? Bayi ini bukan darah daging Mas."
"Kamu kan istriku, masa nggak peduli."
Sera memutar bola mata. Istri kontrak tapi kan?
"Mas itu terlalu menghayati peran sebagai suami. Kalau tidak ada Mas Edric, Mas bebas tugas kok. Tidak perlu sok perhatian." Sera berkata enteng.
Davi menjulurkan tangan dan mengelus perut Sera seolah merasakan denyut jantung bayi.
"Mas pernah menjadi anak kecil, Sera. Meski bukan anakku, bayi ini tidak minta dilahirkan. Kalau Mas cerewet itu hanya bentuk perhatian pada makhluk mungil tidak berdosa," balas Davi sambil menundukkan kepala dan hendak mengecup perut Sera.
Sera membiarkan Davi mendaratkan ciuman kecil pada calon bayinya di dalam perut.
"Mengapa kamu merahasiakan siapa ayah bayi ini?" Davi mengangkat wajah.
"Karena bayi ini milikku."
"Bukankah ayah kandungnya berhak tahu?"
"Pria itu tidak perlu direpotkan dengan urusan seperti ini. Toh, hubungan kami juga tidak serius," kilah Sera untuk menutupi kebohongannya. "Itu juga berlaku untuk Mas. Tidak perlu tanya siapa ayah bayi ini. Anggap saja sudah mati tenggelam dibawah laut."
Davi terkekeh, "Betulkan pria yang kamu maksud sudah mati?"
Sera dapat merasakan tubuh Davi bergeser semakin ke atas dan memerangkap dirinya. Sepasang mata mereka kembali beradu. Sera penasaran dengan strategi yang sedang dilakukan Davi kini.
"Pria itu belum mati," ralat Sera. "Namun, kupastikan tidak ada lagi ruang untuknya disini." Telunjuknya diletakkan tepat di atas jantung hati.
"Kalau begitu biarkan Mas masuk dan mengisi hatimu, Sera."
Seakan kebiasaan, bibir Davi menyapu bibirnya tanpa permisi. Ciuman yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Lidahnya bergerilya ke dalam mulut Sera.
Salah satu tangan Davi kini menopang sisi tubuhnya dengan sentuhan-sentuhan lembut yang membelainya pelan. Tubuhnya menegang, tapi suaminya menguasai keadaan. Gerakan lidah Davi kini lebih teratur tidak sekasar saat pertama kali.
Desahan pelan otomatis keluar dari mulutnya sendiri, Sera berusaha keras tidak terpengaruh. Namun, Davi seolah mengenal titik-titik sensitif yang membuatnya bereaksi.
Davi mengangkat kepala karena merasa menang. Pandangan matanya menyiratkan sesuatu yang tidak bisa diartikan.
"Jangan, Mas. Aku belum bisa," lirih Sera dengan susah payah. "Beri aku waktu tapi bukan sekarang."
"Mas, tidak akan memaksa. Hingga saatnya nanti kamu yang akan minta sendiri," balas Davi enteng. "Sekarang waktunya mandi. Atau mau ditemani?"
Sera mengerucutkan bibir pada tawaran suaminya. "Nanti ya, belum saatnya."
Davi tersenyum penuh arti. "Ayo, sekarang bangun lalu istirahat. Pokoknya kandungan ini harus dijaga sebaik-baiknya."
Tangan Sera ditarik pelan dan punggungnya ditopang telapak tangan Davi yang lebar. Ia sendiri tidak habis pikir, apa yang membuat Davi lebih perhatian terhadapnya saat ini?
***
Beberapa minggu berlalu dan kehamilan Sera pun sudah memasuki bulan kelima. Rumah tangganya dengan Davi juga berjalan dari hari ke hari. Sera mengurungkan niat terus berperang dengan suami bayaran kakaknya.
Energinya hampir habis karena bayi di dalam kandungan.
"Sera, masih mual?" Aster bertanya sambil menyodorkan piring berisi potongan mangga manis yang sudah dipotong dadu untuk iparnya.
"Kalau makan nasi, aku nggak kuat."
"Kentang rebus mau?"
Sera mengangguk pelan meski kentang juga tidak membuat nafsu makannya naik, "Mashed potato ya, Mbak."
"Oke, nanti Mbak bilang ke Bibi."
"Mas Edric kapan pulang, Mbak?"
Aster mengangkat alis, "Kalau kangen suami, coba langsung ditanya. Masa nanya kakaknya terus. Mas Edric kan berangkatnya bersama Davi."
Sera tercenung sambil memandang hamparan hijau halamannya belakang kediaman keluarganya yang luas. Salah satu pelayan dan dua petugas cleaning service sedang membersihkan kolam renang. Pagi ini cuacanya cukup hangat untuk menceburkan diri.
Seketika kepalanya mengingat wajah Davi yang pamitan seminggu lalu untuk melakukan perjalanan bisnis. Mengapa pula ia kini menghitung kapan Davi pulang ke rumah? Paviliun mereka memang jauh lebih sepi tanpa kehadiran lelaki itu.
"Bagaimana pekerjaanmu, Sera?"
"Moon sudah menunda semua pekerjaan yang berhubungan dengan pemotretan. Instruksi Mas Davi, pokoknya kalau tidak berhubungan dengan Hanafy Foundation lebih baik dibatalkan." Sera mendorong piring buah yang ludes tidak tersisa.
"Jadi, sekarang sudah tidak protes lagi dengan permintaan Davi?" Aster penasaran.
Aku tidak punya pilihan, Mbak.
"Demi bayi ini, Mas Davi juga ternyata tidak terlalu menyebalkan." Sera berkilah.
Setiap malam menuju tidur, lelaki itu selalu memberinya pijatan lembut. Berawal dari ujung jempol kaki dan berakhir di pangkal paha.
"Sudah kubilang kan, Davi memang terlihat bossy tapi punya tujuan yang baik. Kemampuan manajerial dan servicenya patut diacungi jempol," lanjut Aster memberi nilai tambahan pada Davi yang satu angkatan kuliah.
"Pegal nggak kakinya? Bengkak ya? Sini." Davi menyentuh belakang betis dan mengoleskan essential oil sebelumnya.
"Kalau begini, terlalu keras nggak? Mau Mas bikin lebih pelan?"
Jari Davi mengurut pelan betis hingga menuju belakang lutut dan berakhir pada pangkal paha. Sera menggigit bibir, ada gelenyar aneh mengetuk sanubarinya.
Wajah Sera mengerut, bibirnya terkunci. Punggung tangan suaminya tidak sengaja menyingkap ujung camisole setali yang dikenakan malam ini.
"Mas, paha kanan. Kram."
Seolah terlatih bekerja sambilan sebagai pemijat ulung, telunjuk Davi menekan titik yang ditunjuk Sera. Sentuhannya lembut tapi sedikit membuatnya nyeri. Sera menepuk pelan tangan suaminya.
"Sudah tidak terlalu nyeri kan? Ototnya tegang banget, Sera." Jari-jari Davi semakin merambat ke atas.
Aster menjentik jari tepat di depan wajah Sera, "Kamu tuh kebiasaan bengong kalau kelamaan ditinggal Davi. Ngaku deh kalau kangen."
Sera tidak menjawab gurauan kakak iparnya. "Mbak, nanti temani aku belanja ya. Baju tidurnya sudah tidak nyaman."
"Wah, ide bagus itu. Agak sore saja ya, Mbak soalnya ada janji nanti siang."
"Boleh, Mbak. Kita ketemu langsung di mall ya," ucap Sera mengalihkan pembicaraan.
Kira-kira warna favorit Davi apa ya? Sera berusaha menebak warna kesukaan suaminya. "Hitam, warna membosankan."***
Add this book to your library! Love and Vote!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad CEO's Babymama [Tamat50BabFullKryaKrsa]
RomanceDavi mencari istri sebagai tiket warisan keluarga, sedangkan Sera membutuhkan suami untuk bayi hasil perselingkuhan. Keduanya sepakat menikah kontrak. Ketika Davi pailit dan mulai menaruh hati, Sera justru kembali ke pelukan mantan kekasih. Apa Davi...