Ch. 2 : Tentang Kalla

680 34 1
                                    

Kalla baru saja tiba di rumah minimalis nya. Dia heran karena terparkir mobil asing di halaman rumah nya.

"Hera, sini sayang." panggil Mayang, ibunda Kalla. Hera merupakan nama kecil nya.

Ruang tamu Kalla yang sudah sempit, menjadi terlihat sumpek saat lima orang duduk di sofa lecek nya. Kemudian Kalla duduk berdempetan dengan sang ibu. Ayahnya berada di samping lain Ibunya. Jadilah 6 orang.

"Kenapa ini, Bu?" Kalla bertanya. Dia menatap pria asing di hadapan nya. Dia tidak kenal.

Mayang dan semua yang ada disitu tersenyum hangat pada Kalla. Membuat bulu kuduk nya merinding ketakutan.

Sumpah, demi apapun. Senyuman mereka seperti hantu yang siap membawa Kalla ke alam yang berbeda. Mengerikan.

"Hera, kenalkan yang di depan mu itu Kara." Mayang menatap pria yang senyum ramah sekali pada Kalla.

Namanya seperti santan yang kemarin Kalla buat untuk membuat opor bebek.

"Dan mereka orangtua nya." lanjut Mayang. Kalla tidak peduli.

"Terus?"

Ferdi menjitak kepala Kalla. "Yang sopan!" Jelas saja ayah nya itu menegur, Kalla memasang tampang sengit pada keluarga di hadapan nya.

"Gak apa-apa, Pak Ferdi. Hera juga baru pertama kali ketemu kami." wanita paruh baya di samping si Santen itu berucap ramah tersenyum paksa melihat perlakuan Kalla.

Kalla mencium bau-bau kemunafikan. "Jadi ada apa ini sebenernya, Bu, Yah?"

"Jadi, Nak Kara berniat meminang kamu, Her." Mayang menjelaskan. Kalla melotot pada Kara. Nama mereka memang hampir mirip, tapi bukan berarti mereka berjodoh kan?

"Bu, Hera aja gak kenal siapa dia." Kalla menunjuk tepat di muka Kara. Ferdi langsung menepis tangan Kalla.

"Yang bener, ah, Her. Jangan buat malu Ayah." tegur Ferdi kesekian kali.

Orangtua Kara tersenyum paksa. "Gak apa, mungkin bisa pendekatan dulu."

Kalla menatap tajam Kara, dia hanya diam dan senyam senyum tolol itu terbit di bibir nya. Memang Kalla akui dia memang lumayan tampan. Tetap saja lebih tampan bos nya.

"Hera, gak mau." Kalla membantah.

Mayang dan Ferdi sudah menduga akan penolakan Hera. Tapi mau bagaimana lagi, keluarga pihak Kara memaksa ingin menjodohkan Hera dengan putra nya.

"Emm, Hera. Mungkin kita bisa berteman dulu?" Akhirnya Kara buka suara. Kalla pikir dia bisu.

"Gak!" ketus Kalla. Biar saja orangtua laki-laki santan itu murka padanya, supaya tidak jadi menjadikan Kalla menantunya.

"Hera!"

"Her!"

Kedua orangtua Kalla menegurnya lagi secara bersamaan.

"Kalau gitu, Bu May dan pak Ferdi, kami pamit dulu. Mungkin Hera bisa pendekatan dengan Kara terlebih dahulu." Ibu Kara itu mengakhiri perbincangan ini. Dia tersenyum ramah sekali, namun ketika menatap Kalla senyum nya seolah dipaksakan.

"Boleh saya minta nomor kamu?" Sebelum kaki Kara berpijak pada lantai teras, dia bertanya pada Kalla yang sudah sangat malas dengan pria santan ini.

Mayang menyenggol Kalla. Seolah memberi kode untuk memberikan nomor ponsel nya.

Kalla mendengkus tak suka. "Biar nomor kamu sini, nanti saya hubungi duluan." Kalla sudah siap untuk membuka ponsel.

Tetapi Kara menggeleng, dia tetap ingin Kalla yang memberi nomor nya. "Nomor kamu aja, biar saya yang hubungi duluan. Masa perempuan yang mengejar."

Memuakan. Kalla sangat tidak suka pria terang-terangan seperti Santan Kara. Mau tak mau karena di sudutkan oleh Mayang dan Ferdi, Kalla memberi nomor ponsel kantor nya saja. Bukan nomor pribadinya.

"Terimakasih, Kallahera." Kara berucap dengan senyum penuh di wajahnya. Kalla mendelik dan bertatap sinis.

Setelah mereka pulang, Kalla di omeli habis-habisan oleh Mayang. Sedangkan Ferdi, dia kembali memandikan burung nya yang sempat tertunda. Burung yang bisa terbang.

"Her, bapak nya Kara itu kepala desa dan ibu nya itu bidan di puskesmas sini." jelas Mayang. Kalla tak memperdulikan itu. Dia hanya fokus mengupas mangga.

"Terus?"

Mayang menjewer telinga Kalla hingga dia meringis. "Aww-- ampun Bu,"

Ferdi tertawa melihat dua perempuan kesayangan nya itu sedang beradu pertikaian. Memang selu seperti itu mereka, tak pernah sejalan pendapatnya.

"Kamu tuh, udah mau umur 28 masih aja jomblo. Ibu sama ayah mau juga gendong cucu." Mayang mencabikan bibirnya, dia kesal dengan putri kedua nya.

"Kan udah ada cucu dari mas Artha sama mas Dirga, Bu." Kalla melahap potongan mangga terakhir nya. Enak.

"Iya, kan dari kamu belum!" Mayang sangat gemas dengan anak bungsunya ini.

"Tenang aja, Bu."

Mayang duduk di dan memotong sayur buncis. "Gak bisa! Pokoknya, kalau dalam satu bulan ini kamu nggak kenalin calon mu, Ibu sama ayah sepakat kamu sama Kara untuk di jodohkan." final Mayang. Tak bisa terbantahkan lagi. Kalla mendesah lesu.

Dia masih muda kok, baru 28 tahun. Ngapain buru-buru nikah bukan?

"Iya, Her. Kara itu baik kok, dia kerja di kantor desa juga jadi sekertaris bapak nya." Ferdi ikut angkat suara memihak istrinya.

"Hera, gak peduli. Hera mau mandi dulu, gerah." Kemudian Kalla beranjak dari meja makan itu menuju kamar mandi.

Mayang dan Ferdi bersitatap dan sama-sama menghela nafas pendek. Lelah dengan anak bungsu nya yang super brutal dan barbar.

Diceritakan sedikit, Kalla itu pintar dan cerdas di sekolahnya. Namun, seimbang juga dengan kenakalan nya. Paling parah nya, dia sering minum alkohol dan menjamet dulu.

Beruntung kebusukan nya itu tertutupi oleh prestasi dan Ayahnya yang merupakan rektor di universitas tempatnya menempuh pendidikan. Pihak sekolah menjadi segan kepada Kalla.

Setelah selesai mandi Kalla melanjutkan pekerjaan nya yang dia bawa pulang. Membuka laptop dan mengecek email masuk. Tidak ada yang berarti.

Kemudian mengecek ponsel nya, terdapat pesan ke whatsapp bisnis nya. Kalla sudah menduga pasti dari si Santan Kara.

Dan pesan dari Samudera ke whatsapp pribadinya.

Sudah pulang, Kallahera?

Pertanyaan bodoh apa, ini? Kalla jelas sudah pulang. Bodoh nya atasan Kalla.

Belum. Saya masih di pikiran, Bapak, kan?

Niat nya hanya bercanda saja dengan atasan sinting nya itu.

Wah, Kalla gimana kamu tahu saya mikirin kamu?

Kalla tidak membalas lagi pesan nya. Dia merasa tidak penting chating dengan bos nya itu. Lebih baik menuntaskan pekerjaan nya.

Tapi tak sampai satu menit ponsel nya berbunyi pesan masuk.

Tawaran saya masih berlaku. Kamu bisa dapat lebih kalau mau.

Apa-apaan maksudnya. Memangnya dia ini barang dibeli dengan uang?

Tetapi, pikiran nya teringat dengan ucapan sang ibu tadi. Jika dalam waktu satu bulan tidak bawa gandengan dia akan disuruh kawin paksa dengan si Santan Kara. tidak!

Masih ada sebulan, kan? Oke dia akan mencari orang lain! daripada atasan nya itu, lebih baik bersama orang lain yang lebih manusiawi bergandengan dengan Kalla yang tidak kaya raya.

Sweet Contract [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang