"..., BALIK KANAN BUBAR BARISAN....... JALAN!"
Sebuah aba-aba dari pemimpin upacara yang sudah sangat ditunggu sejak tadi oleh barisan para siswa dan siswi yang mengikuti upacara. Tanpa mau berlama-lama berada di lapangan yang kini mulai panas, mereka langsung berhamburan pergi meninggalkan lapangan dan masuk ke kelas yang nyaman.
Dasar pelajar zaman sekarang, saat diminta baris untuk memulai upacara mereka berleha-leha, sebaliknya saat bubar barisan mereka semangat 45.
Tapi adanya kemauan dan tanggung jawab mereka tetap mengikuti upacara setiap hari senin itu sudah membanggakan, setidaknya mereka masih mau mengenang dan menghormati jasa pahlawan yang telah berjuang dalam meraih kemerdekaan.
Tangan Haidar sejak tadi sudah gatal ingin mencopot topi, dasi, dan mengeluarkan baju seragamnya, begitu upacara selesai langsung saja dia melakukannya. Hal itu membuatnya mendapat teguran dari salah satu teman sekelasnya.
"Anjerlah malah diberantakin, udah bagus kek tadi woy! Gue yakin kalo penampilan lo rapih ciwi-ciwi pada suka sama lo."
"Bodo! Harusnya gue udah gak perlu pake ginian, harusnya taun ini gue ikut upacara cuma pas tujuh belasan doang." Memang seharusnya Haidar sudah lulus SMA, ralat, SMK, karena sebenarnya keinginan Haidar itu masuk SMK bukan SMA.
"Iya juga, harusnya lo udah jadi montir kayak Lutfi. Ya!" Haidar merespon ucapan Aji-temannya, hanya dengan helaan nafas.
Keduanya masih berada di lapangan yang mulai kosong karena hampir semua murid sudah masuk ke kelasnya masing-masing. Sesungguhnya mereka berdua malas masuk kelas, apalagi materi pelajaran yang akan guru sampaikan hari ini adalah materi yang mereka benci.
Kedatangan seorang gadis membuat aktivitas merenung mereka dipagi hari ini terpaksa harus berhenti. Dia ada urusan dengan Haidar.
"Kenapa?" Haidar bertanya karena siswi itu tak kunjung bicara lagi usai memanggilnya tadi.
"Em, itu, Dar, anak-anak osis nyuruh ngehukum adek kelas yang gak ikut ekstra pramuka jumat kemarin!"
Haidar merasa siswi dihadapannya ini menghindari bertatapan dengan dirinya, siswi itu berdiri dihadapannya juga berbicara padanya, namun pandangannya entah kemana. "Kenapa gak lo aja?"
"Mereka pada berani kalo sama gue, palingan gue gak akan digubris sama mereka," jawab siswi itu.
"Yaudah lo suruh mereka kumpul di lapangan sekarang, nanti gue yang hukum." ucapan Haidar yang menjadi percakapan terakhir mereka.
Siswi itu langsung pergi tanpa berbicara terlebih dahulu lagi, dia berlari, seolah memang sudah ingin pergi sejak tadi. Lalu untuk apa dia kemari? Padahal bisa saja dia memberitahu Haidar lewat chat, tak perlu harus sampai menemuinya segala kalau memang tidak ingin.
"Dia gak punya WA, kah, sampai harus nemuin lo segala?" canda Aji.
"Lo mah gak peka, sengaja itu biar bisa ngobrol sama gue!" balas Haidar dengan raut wajah tengil ciri khasnya.
"Itu cewek langsung ngibrit pergi, gue ngak yakin dia mau ngobrol sama lo, kayaknya dia kepaksa." perlu diingat, mulut Aji memang setajam alat cukur kumis.
"Dia ngibrit itu karena salting tau!"
"Hilih, salting, salting tai, lo yang sinting kali!"
•••
Kata orang yang namanya saudara itu tidak akan beda jauh. Benar saja, sama seperti Haidar, seragamnya Naufal juga sudah berada di luar. Bedanya dasi Naufal masih setia menggantung diantara kerah bajunya, tidak seperti dasi Haidar yang kini sudah beralih fungsi jadi ikat kepala.