9. Messed

523 85 9
                                    

Malik merutuki diri. Salahkan nafsu lemahnya yang langsung bangkit hanya karena bisikan bernada sensual dari Ghilsa. Awalnya laki-laki itu memang hanya berniat mengalihkan perhatian Ghilsa dan mengambil ponselnya. Namun menyicip bibir ranum Ghilsa sebentar rasanya tak mungkin. Ia memperpanjang waktunya sendiri tadi dan Ghilsa adalah seorang pencium ulung. 

Jika Malik tidak cepat sadar, mungkin Ia akan melakukan hal lebih dari apa yang tadi terjadi. Nampaknya, Ia harus melakukan pengakuan dosa.

Malik sangat tidak menyukai dirinya yang tak terkontrol. Lagi, dia bahkan tidak bisa benar-benar marah pada Ghilsa yang sudah melewati batas dirinya. Jika orang lain yang melakukan ini, entah apa yang akan Malik lakukan untuk melampiaskan kekesalannya.

Namun dengan Ghilsa, Malik bisa sedikit bersabar dan mentolerir sikapnya.

Malik menyadari satu hal. sekarang Ia lebih dari sekedar tertarik dengan gadis itu. Ia menyukai Ghilsa, namun Ia denial. Bukan tanpa alasan. Banyak hal yang lagi-lagi perlu dipertimbangkan. Banyak tanggungjawab yang Ia pegang. 

Malik menyadarkan kepalanya pada sandaran kepala jok mobil. Ia memejamkan matanya kuat, memijat pangkal hidung dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. 

Ia memang sudah sampai kembali ke rumah sejak tadi, Ia benar-benar kelar rumah hanya untuk menghampiri Ghilsa dan menghentikan kegilaan perempuan itu.

Ia berjengit kaget mendengar ketukan jendela kaca mobilnya. Seorang remaja dengan seragam putih biru tengah menundukan tubuh agar kepalanya sejajar dengan kaca mobil.

Malik memilih membuka pintu mobilnya dibanding menurunkan jendela. Matanya menatap sangsi remaja itu. 

"Nggak sekolah?" 

"Ini mau berangkat. Nenek belum kasih uang," remaja itu mengadahkan tangan, menodong Malik untuk memberikan uang jajan.

Malik menghela napas panjang. Ia mengeluarkan dompet di saku celananya, memberikan remaja itu dua lembar pecahan seratus ribu. 

"Bukan buat rokok!" Malik memperingatkan.

"Aman Baginda Raja," Remaja dengan seragam bertuliskan tanda nama Jash Lee di dada kirinya itu tersenyum miring, jelas remaja itu meledeknya.

Malik tak ambil pusing, Ia melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Bunyi alat masak saling beradu terdengar dari dapur. Seorang wanita paruh baya yang tentu saja Ibu Malik itu tengah sibuk sendiri.

"Kapan kesini, Bu?" Malik membuka pintu kulkas. Ia butuh air dingin sekarang.

"Punya pacar kamu, Bang?" Ibu Malik mengabaikan pertanyaan putranya. Ia lebih penasaran dengan apa yang diceritakan Jash bahwa Malik menjadi perbincangan warganet pagi ini.

Malik mendengus. Berpikir keras bagaimana Ibunya mengetahui berita itu sepagi ini. Bahkan Ia baru saja membereskan masalahnya. 

"Tahu dari mana?" Malik kini duduk di hadapan Ibunya yang sibuk menyiapkan bumbu masakan.

Malik dan Ibunya tinggal terpisah. Namun Ibunya pasti selalu datang ke rumahnya paling tidak seminggu dua kali untuk mengecek kondisi rumah Malik. Heran juga Ibunya umur segini masih hobi sendiri.

"Beneran pacar?"

"Bukan, Bu." 

"Kalo pacar juga Ibu nggak masalah. Kenapa sih?"

"Ibu mau punya mantu model Ghilsa?" entah kenapa pertanyaannya terasa agak menjatuhkan Ghilsa. Namun Malik hanya murni bertanya tentang pendapat Ibunya. Ibunya tentu tahu Ghilsa. Setidaknya dari obrolan ibu-ibu arisan di RT Ibunya. 

"Kaku banget si kamu, Lik. Biasa itu mah, Ibu juga dulu gonta-ganti pacar." 

"Aku nggak mau sama perempuan yang jadi pusat perhatian, ribet nanti," Malik menumpahkan pemikirannya selama ini. 

Crazy Over You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang