Bab 5

158 22 9
                                        

Yeorin.

* * *

Aku berlari secepat mungkin melewati koridor gedung besar ini, tapi tidak ada pintu keluar darurat yang terlihat. Semua pintu yang ku coba buka terkunci.

Aku menggedor satu, tetapi tidak terbuka.

Apakah tidak ada yang tinggal di sini?

Kepanikan membanjiri pembuluh darahku saat aku berlari secepat mungkin, tapi gaun pengantin bodoh ini menahanku, dan aku tidak bisa melepaskannya.

Karena saat aku melirik ke belakang, Jimin ada di sana, mengikuti setiap langkahku dengan senyum jahat di wajahnya. Langkahnya santai seperti dia tidak takut aku akan berlari lebih cepat darinya, dan itu membuatku merinding.

Bagaimana bisa seorang pria yang kacau seperti dia begitu menyendiri dan sombong pada saat yang sama?

Setiap langkah yang dia ambil lebih cepat dari yang sebelumnya, dan senyumnya semakin dalam, seperti dia menikmati pengejaran, dan itu membuatku ingin berteriak.

Tapi adakah yang peduli untuk membuka pintu mereka dan membawaku masuk?

"Tolong aku!" aku berteriak dengan harapan seseorang, siapa pun, akan mendengar.

Jimin tertawa. "Berteriak sekeras yang kau suka, Bunny."

Bunny.

Aku masih membenci nama itu sama seperti aku membencinya.

Cara matanya berkilat membuat kulitku merinding, dan aku menendang sepatuku dan berlari lebih keras. Tapi gaun panjang berhiaskan berlian membuatku tersandung dan jatuh ke lantai.

Sebelum aku bisa bangun, dia menerkamku.

"Tidak, lepaskan aku!" Aku berguling telentang, tapi Jimin menjepit pergelangan tanganku dan duduk di atasku.

"Tidak, kurasa aku tidak akan melakukannya," renungnya, tersenyum seperti bajingan yang selalu dia lakukan. "Kau seharusnya tidak lari dariku, Yeorin."

Kemarahan menguasaiku, dan aku meludahi wajahnya lagi.

Bibirnya berkedut, amarah tumpah dari matanya saat Jimin menatapku, tapi dia bahkan tidak menghapusnya dari pipinya.

Sebaliknya, dia bersandar begitu dekat sehingga aku bisa merasakan napasnya di kulitku saat penisnya menusuk perutku.

"Lain kali, aku akan membuatmu menjilatnya."

"Kau bajingan," kataku dengan gigi terkatup.

"Bajingan atau suami yang tidak tahu cara menanganinya?" balasnya, mengedipkan mata.

Brengsek, jika aku tidak tahu seberapa buruk dia bisa mewujudkannya, aku hampir mengatakan itu menggairahkan.

"Persetan denganmu," desisku. "Aku akan terus berlari dan memberi tahu tetangga sampai seseorang menolong ku dan memanggil polisi."

Jimin menyeringai dan menggelengkan kepalanya.

"Yeorin, kau benar-benar menganggap rendah diriku." Dia tersenyum jahat pada kebingunganku.

Jimin merendahkan dirinya sehingga kami saling berhadapan, tangannya yang berurat masih menempel kuat di pergelangan tanganku sehingga aku tidak bisa melakukan apa-apa.

"Aku tidak hanya memiliki penthouse disini. Aku pemilik seluruh gedung. Sialan."

Astaga.

Seluruh gedung?

Seberapa kaya bajingan ini?

"Ya, benar," aku mencemooh. "Ayahmu membelikannya untukmu."

Rambut hitamnya mengusap dahiku seperti tirai. "Ayah ku membeli banyak untuk keluarganya, tetapi gedung ini bukan salah satunya."

The Marriage DebtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang