Bab 15

116 22 23
                                    

Yeorin.

* * *

Aku sudah terkunci di ruangan ini selama berhari-hari. Aku tidak tahu berapa lama karena tidak ada jam di mana pun, dan ponsel ku diambil begitu aku berada di cengkeraman Jimin.

Tidak ada apa-apa selain televisi kecil untuk menemaniku. Melihat ke luar jendela sama mengerikannya. Semua orang di jalanan dengan bahagia menjalani hidup mereka sementara aku terjebak di sini, di menara ini, berharap suatu hari nanti aku akan mendapatkan kesempatan untuk melarikan diri dan melepaskan kalung terkutuk ini dari leherku.

Tapi kemudian ada suara di kepalaku yang berbisik padaku lagi.

Kau memilih ini.

Andai saja aku tidak melakukan apa yang ku lakukan lima tahun lalu.

Seharusnya aku tidak pernah menyeret Jungkook menjauh dari Jimin dan masuk ke mobilku.

Jika tidak, dia akan memenangkan pertarungan dan masih hidup.

Segalanya akan jauh berbeda sekarang.

Aku bisa menikah dengannya.

Aku menghela nafas pada diriku sendiri dan mendorong tirai ke samping untuk melihat ke luar ke jalanan yang ramai di bawah. Bahkan jika ini adalah bagian belakang bangunan, masih ada pemandangan seperti itu yang hanya bisa dibeli dengan banyak uang.

Tok, tok!

Dua ketukan di pintu membuatku menoleh ke samping. Satu-satunya pengunjung yang ku miliki sejak Jimin terakhir masuk adalah Mina dengan makanannya yang lezat, dan itu selalu membuat ku tersenyum ketika dia datang. Tapi dia tidak pernah mengetuk.

"Siapa?"

"Aku."

Kulitku merinding mendengar suaranya.

Jimin.

Tentu saja itu dia.

Aku tidak menjawab, tapi dia tetap masuk, dan saat mata kami bertemu, seringai yang sama terbentuk di bibirnya lagi. 

"Bagaimana perasaanmu?"

Aku mengerutkan kening. “Sejak kapan kau peduli?”

Dia menutup pintu dan bersandar padanya, menyisir rambut hitamnya dengan jari-jarinya. 

"Aku tidak pernah berhenti peduli padamu, Rin."

Aku mendengus. "Ya, benar, kata pria yang mengurungku di sini."

Dia mendorong dirinya dari pintu dan melangkah lebih dekat. "Kau tahu kau tidak memberiku pilihan."

Aku ngeri. 

“Wow, jadi sekarang kau mencoba menyalahkanku? Tidak, terima kasih, aku di sini bukan untuk menjadi kambing hitam mu."

Dia berhenti di tengah ruangan dan menyipitkan matanya ke arahku, mengepalkan tinju. 

“Jangan pernah lupa bahwa kaulah yang membunuh adik ku. Kau pantas mendapatkan setiap hukuman."

Mata kami terhubung, dan api hampir menyala di antara kami. "Dia akan hidup jika kau tidak memulai pertarungan dengannya."

Jimin berjalan ke arahku dan mencengkeram kerah bajuku. "Pertarungan itu tidak akan dimulai jika kau tidak menciumnya."

Bisa aja. 

“Kau menggunakanku sebagai alasan. Kau sudah membencinya karena orang tuamu memilih dia untuk menjadi penerus, bukan kau.”

Lubang hidungnya melebar saat dia begitu dekat hingga aku hampir bisa merasakan napasnya di kulitku. 

The Marriage DebtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang