Bab 35

99 17 14
                                    

Yeorin.

* * *

Saat kami akhirnya berada di penthouse lagi, aku menghela napas lega. 

Aku tidak berpikir akan berhasil kembali ke sini hidup-hidup. Atau bahwa tempat ini akan sangat... bersih.

Pembersih dan ahli renovasi melakukan pekerjaan luar biasa untuk menyelesaikan semuanya. Semua pecahan kaca dari cermin yang kupecahkan hilang, juga semua lubang peluru yang ditinggalkan oleh pertarungan antara Jimin dan Taehyung.

Apa bedanya dua hari.

Aku telah tinggal di klinik yang sama dengan Jimin karena dia tidak ingin aku pergi dari sisinya. Bukannya aku bisa pergi. Ada penjaga keluarga di sekitar klinik, memastikan tidak ada orang yang tidak diinginkan masuk untuk membahayakan kami saat dia dalam kondisi terlemahnya.

Jimin menutup pintu di belakang kami. "Akhirnya. Kita sendirian.”

Aku hanya bisa berputar di kaki ku dan menatapnya. Ada tampilan kebinatangan di wajahnya yang sulit untuk diabaikan. 

"Kenapa kau menatapku seperti itu?"

"Kau tahu kenapa," katanya, berjalan ke arahku. "Selama dua hari, aku telah membuang-buang waktu di ranjang rumah sakit itu, tidak dapat melakukan apa pun saat kau duduk di sana di kursimu, menatapku seolah kau khawatir."

Saat dia melewati meja dengan pinggangnya, dia meringis.

“Aku benar-benar khawatir, Jimin.” jawabku, dan aku segera berlari ke lemari es dan mengambil beberapa es batu. 

"Di sini." Aku mengangkat bajunya dan menggosokkannya ke luka.

Raut wajahnya semakin gelap. "Aku tidak ingin kau khawatir."

Jimin meraih pergelangan tanganku dan mengangkatnya ke udara sementara aku masih mencengkeram es batu. "Aku ingin kau melihatku."

"Aku melihatmu," jawabku, bingung.

Dia melangkah lebih dekat sampai jarak kami hanya beberapa senti. 

"Tidak. Kau masih berpikir aku kesakitan dan dalam bahaya, bukan?"

Aku menggeleng, tapi aku berbohong padanya.

Jimin mendorongku sampai ke tengah ruangan, masih mencengkeram pergelangan tanganku. 

Aku tidak berani melepaskan es batu. “Kau sangat salah. Setelah sekian lama, kau masih tidak mengerti.”

“Aku tidak ingin kau—”

Dia meletakkan jarinya di bibirku dan menyeretnya ke bawah. “Hanya ada satu hal yang menghancurkan pria sepertiku. Dan itu bukan memiliki apa yang paling ku inginkan.”

Seluruh tubuhku memanas saat dia begitu dekat denganku, tapi rasanya tidak enak. Dia baru saja keluar dari klinik, masih marah karena aku.

“Dengarkan aku, Rin. Aku dijahit. Aku merasa baik-baik saja,” katanya, mencengkeram pinggangku untuk menarikku lebih dekat. "Tapi aku sudah selesai menunggu untuk memilikimu."

Nafasku tercekat di tenggorokan, dan aku menjadi bingung hanya karena memikirkan melakukan sesuatu dengannya ketika dia masih belum pulih. Tapi ketika dia mengambil es batu dari tanganku dan menghancurkan bibirnya di bibirku, aku pusing karena adrenalin yang mengalir di tubuhku.

"Tutup matamu," bisiknya di bibirku.

Aku menurut, dengan sengaja, dengan rakus, seperti aku merindukan perintahnya.

Udara mendesing kembali saat dia berjalan pergi, dan aku merasa kehilangan sentuhan.

Dan kemudian rasa bersalah menyapu ku lagi.

The Marriage DebtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang