Bab 21

109 18 6
                                    

Yeorin.

* * *

Selama lima belas menit, aku telah berlari melewati kota tanpa tahu di mana aku berada dan tidak tahu ke mana tujuan ku. Kupikir aku tahu di mana Jimin tinggal, tapi aku salah. 

Tempat ini sepertinya sangat asing bagiku, dan aku tidak punya ponsel untuk memeriksa peta karena Jimin mengambilnya. Aku bisa bertanya kepada seseorang, tetapi aku terlalu takut mereka ada hubungannya dengan keluarga Choi atau keluarga ku. Aku tidak bisa mengambil risiko tertangkap.

Aku berkeliaran tanpa tujuan melalui kota. Bayangan mengintai di setiap sudut, membuatku ketakutan.

Mungkin bukan ide bagus untuk berlari tanpa persiapan.

Saat rasanya salah satu bayangan mulai mengikutiku, aku mempercepat langkah.

Jantungku berdegup kencang saat aku lari dari siapa pun yang mengikutiku, berharap tidak ada yang menemukanku. Tapi jika aku cukup mengenal Jimin, dia punya mata-mata di seluruh kota.

Tidak pernah sendiri, tidak pernah benar-benar bebas, bahkan saat aku berlari.

Tetap saja, aku berlari lebih cepat, dan lebih cepat lagi.

Tidak peduli seberapa terengah-engah itu membuat ku, tidak peduli seberapa banyak kaki ku mulai sakit dari sepatu hak tinggi di sol sepatu ku, dan tidak peduli seberapa lelahnya aku, aku terus berlari. 

Karena berlari adalah satu-satunya hal yang mengingatkanku akan hidup.

Dan aku akan hidup, sialan.

Aku menuju ke sebuah gang di ujung jalan. Aku harus menemukan jalan yang ku kenal sehingga aku dapat menemukan jalan keluar dan melarikan diri. Atau lebih baik lagi, temukan salah satu tempat Seokjin dan sembunyi di dalam sampai aku bisa menghubunginya di sana dan memintanya untuk membantuku mendapatkan kembali kebebasanku.

Didukung oleh ide belaka, aku bergegas melewati gang dan keluar di jalan dekat dermaga. Tidak banyak orang di sini, dan tampilan bangunan yang kotor membuatku merinding.

Tetap saja, aku terus maju karena bayangan itu masih ada di belakang ku.

Bagaimana jika dia salah satu mata-mata Jimin?

Aku harus menyingkirkannya.

Aku berlari ke seberang jalan menuju pelabuhan dan mengikuti jalan sampai ke gudang yang menyala. Mungkin aku bisa masuk ke dalam dan mencari seseorang untuk meminjamkan ku telepon mereka, aku bisa menelepon Seokjin dan menemukan pelabuhan yang aman. Lalu meminta jemput adikku.

Tetapi ketika aku membuka pintu, tidak ada apa-apa selain beberapa crackhead yang merokok di sekitar cahaya redup, dan ketika mereka semua menatap dan memperhatikan ku, aku membeku.

"Eh..."

Aku merasa seperti tersandung ke pertemuan pribadi.

Ini bukan ide terbaik yang ku miliki.

"Apa-apaan ini?" salah satunya berkata.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Maaf, salah gedung," gumamku.

Ketika aku berbalik, seseorang menghalangi jalan ku. Seorang pecandu dengan rambut kusut, pakaian robek, dan ekspresi kejam di wajahnya membuatku terhuyung mundur.

“Hmm…” dia berkata. Ketika aku mencoba melewatinya, dia terus menghalangi ku. “Hei sekarang, tidak perlu pergi,” katanya, mengembuskan asap ke wajahku sampai aku terbatuk. "Mau masuk?"

"Tidak, terima kasih," kataku, berusaha tetap ramah. "Aku tersesat, itu saja."

"Tersesat?" Salah satu crackheads di belakang tertawa. “Kita semua tersesat di sini, Nona. Ayo masuk. Kami tidak akan menggigit.”

The Marriage DebtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang