Desir angin yang menyapu kelopak mata berhasil menyadarkanku. Bahwa kembalimu bukanlah untuk memperbaiki, melainkan meminta sandaran dari permasalahan yang tengah kau alami.
"Mana lelakimu?" tanyaku, dengan nada serius sembari retinaku melihat sekeliling.
"Ini, di depanku." katamu dengan senyum khasnya.
Duh,
Memang sepertinya urat malumu sudah putus, diputuskan oleh kekejaman dan keserakahan.
Kau pikir aku akan tersipu? Haha. Sekali lagi--maaf atas tawaku. Jika itu jawabanmu, lantas beberapa waktu yang lalu kamu ke mana? Hibernasi? Hah?
Kau ingat ketika aku mencarimu habis-habisan, namun kau jalan bersama lelaki lain yang katamu hanyalah teman? Waktu itu aku hanya butuh sandaran. Aku hanya tengah merangkak dari luka sebelumnya, dan aku hanya menanti janji-janjimu untuk ditepati.
Sudahlah, aku sudah tahu semua. Tak perlu kuceritakan satu-persatu apa saja kejahatanmu, sebab bagiku tak ada gunanya. Aku sudah tidak ingin menghancurkan diriku sendiri yang jelas-jelas telah menguatkanku.
Iya, selama ini aku telah dikuatkan oleh aku.
Sekarang, biarkan aku melepasmu dengan ikhlas. Silakan kamu pergi sejauh mungkin, atau kamu melebur tak tersisa sekalipun, aku sudah tidak peduli. Karena setelah ini, aku pasti akan menemukan seseorang yang lebih baik sebagai penggantimu.
Silakan kau temukan pasangan yang menurutmu tepat. Tapi ingat; jangan terus-menerus kau buat khianat. Sebelum kau temukan kehancuranmu atas balasanmu, balasan dari semesta yang mereka bilang sebagai 'karma'.
Sudah, ya.
Sudah. Jangan ganggu aku lagi.
Aku sudah merasa tak ada urusan lagi denganmu.------------------------------
Fazri Aldi; aku tidak ingin lagi
Karawang, 12 Februari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Tidak Pernah Menangis
PoesíaAku adalah sisa puing-puing kehancuran dari aksi pengkhianatan yang telah gagah kau lakukan. Sebuah pengkhianatan yang berawal dari luka masa lalu yang kau basuh sembuh. ; kau memelukku dan memberiku kedamaian, kemudian meremukkanmu tanpa belas kasi...